Apakah seorang pemimpin perlu menjaga jarak dengan bawahan? Atau, sebaliknya, perlu menjalin hubungan akrab dengan semua bawahannya?
Pertanyaan ini telah menjadi diskusi panjang dalam dunia kepemimpinan. Salah satu tokoh yang membahasnya dengan mendalam adalah John C. Maxwell dalam bukunya The Leadership Handbook.
Maxwell menghadapi dilema yang banyak pemimpin modern alami: apakah harus mengikuti generasi sebelumnya yang menekankan jarak, atau memilih pendekatan yang lebih humanis dan dekat dengan bawahan?
Pengalaman John C. Maxwell
Maxwell menceritakan bagaimana ia merasa tertekan oleh budaya generasi sebelumnya yang menyatakan bahwa pemimpin harus menjaga jarak.
Namun, ia memiliki keunggulan alami: mudah membangun relasi dan keakraban. Akhirnya, ia memilih untuk mencoba pendekatan yang lebih personal dengan karyawannya.
Hasilnya? Luar biasa. Maxwell menemukan bahwa hubungan yang akrab tidak hanya memudahkan komunikasi, tetapi juga mempercepat kemajuan dalam bisnis.
Namun, ia tetap menekankan pentingnya bersikap hati-hati dan waspada.
Rumus yang ia terapkan adalah sederhana namun mendalam: menyayangi bawahan terlebih dahulu sebelum memimpin mereka.
Maxwell berkata, “Hubungan akrab itu akan memudahkan saya untuk menolong mereka sekaligus ditolong oleh mereka. Keputusan itu mengubah kehidupan dan kepemimpinan saya.”
Pesan ini menggambarkan bahwa kepemimpinan yang efektif tidak hanya soal memberi arahan, tetapi juga tentang membangun kepercayaan dan kemitraan.
Inspirasi dari Nabi Muhammad SAW
Pendekatan kepemimpinan yang akrab juga telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Dalam sejarah, terdapat banyak kisah yang menunjukkan bagaimana Nabi memimpin dengan cara yang penuh kebersamaan dan kasih sayang.
Baca Juga: Memimpin itu Mampu Merasakan
Salah satu momen paling inspiratif terjadi saat perang Khandaq. Para sahabat bekerja keras menggali parit untuk pertahanan, tetapi mereka dihadapkan pada tantangan besar: sebuah batu besar yang sulit dipecahkan.
Nabi Muhammad SAW turun tangan langsung untuk membantu. Beliau memulai dengan membaca, “Bismillah,” lalu memukul batu tersebut.
Dengan izin Allah, batu itu berhasil dihancurkan sepertiganya. Beliau lalu berseru, “Allâhu Akbar! Aku telah diberi kunci-kunci Syam. Demi Allah, sekarang saya melihat istana yang merah.”
Kisah ini tidak hanya menggambarkan kemampuan Nabi sebagai pemimpin yang menghadirkan solusi, tetapi juga menyoroti kebersamaan sebagai inti dari kepemimpinannya.
Nabi tidak hanya memberikan perintah, tetapi terlibat langsung dalam upaya bersama para sahabatnya.
Prinsip Utama: Hadirkan Solusi, Jalin Kebersamaan
Dari kisah Maxwell kemudian teladan dari Nabi Muhammad SAW, kita dapat menarik prinsip utama dalam kepemimpinan: seorang pemimpin harus mampu menghadirkan solusi dengan kebersamaan sebagai penguat. Kebersamaan bagaimanapun adalah elemen yang tak boleh diabaikan.
Kebersamaan menciptakan kepercayaan, memperkuat hubungan, dan memotivasi semua orang untuk mencapai tujuan bersama.
Bagi kita, refleksi ini menjadi pengingat bahwa kepemimpinan bukan tentang menjadi sosok yang tak tersentuh, tetapi menjadi seseorang yang hadir, peduli, dan siap untuk terlibat langsung.
Dengan cara ini, kepemimpinan bukan hanya soal posisi, tetapi juga tentang pengaruh yang menginspirasi.
Jadi, apakah Kita sudah memimpin dengan cara yang akrab dan bersama-sama?*