Home cerita Memilih Presiden
Memilih presiden

Memilih Presiden

by Imam Nawawi

“Bagaimana caramu menentukan pilihan, katakanlah memilih presiden.” Asep melontarkan pertanyaan serius kepada Bejo yang sedang asyik memeriksa pesan Whatsapp.

Bejo hanya tersenyum. Jemarinya bersegera memberikan jawaban atas sebuah pesan Whatsapp.

Pesan dari teman lamanya yang juga bertanya, bagaimana pemimpin yang baik untuk Indonesia.

“Jo, bagaimana. Saya tanya serius ini!” Asep memberi penekanan agar Bejo segera memberikan jawaban.

Baca Juga: Mungkinkah 2024 Tampil Presiden Muda?

“Walau tak sama persis, Sep. Memilih presiden itu kayak milih pasangan.

Lihat saja kandidatnya itu dari keturunan, kecerdasan, ketangkasan dan tentu saja kiprahnya selama ini. Kalau semua bagus, pilih itu saja. Gitu saja kok repot.”

Asep tertawa mendengar itu. Terutama pada ujung kalimat yang sangat kental dari ucapan sosok tokoh sangat populer di Indonesia. Itulah dia Gus Dur.

“Jujur saja saya kesal sama orang yang mempromosikan pemimpin hanya karena suku, bukan prestasi dan kecintaan pada rakyat. Orang kok masih begitu, ya, Jo.” Asep mulai terus terang dengan apa yang jadi kegelisahan hatinya.

Jualan

“Sep, Sep. Kamu ini suka baca berita, tapi masih saja emosi kalau ada yang gak seide. Santai saja, Sep.” Bejo menjawab sembari meletakkan smartphone yang baru ganti LCD karena jatuh saat naik sepeda.

“Bagiku cara promosi pemimpin seperti itu gak mencerdaskan, Jo.” Asep menimpali.

“Lah, itu kan mereka jualan, Sep. Kamu mau beli atau rakyat mau ambil atau tidak, kan terserah. Masalah itu kalau kamu sudah jelas gak mau beli, tapi marah. Kamu dapat apa?”

Mendengar itu Asep memukul jidatnya sendiri.

Baca Lagi: Anak Muda Harus Siap Memimpin

“Betul. Ya, betul-betul,” ucapnya yang mirip sekali dengan gaya Upin-Ipin bicara.

“Masalah kita sekarang itu adalah mau tidak ‘membeli’ jualan orang. Kalau tidak mau, ya, sudah, kamu gak perlu pusing, Sep!” Bejo mulai menggoda dengan kembali bicara bergaya Sunda yang sangat kaku.

“Tapi bagaimana kalau banyak orang beli jualan itu, Jo,” Asep memuntahkan pertanyaan lagi.

“Kemungkinan dua, Sep. Pertama yang jualan pinter. Kedua, yang beli memang tidak teliti. Kalau beli obat saja harus tahu bahkan bagus dapat resep dokter. Apalagi memilih pemimpin, sudah pasti jangan asal pilih. Begitu, bukan, Sep.”

Asep tersenyum. “Berarti tinggal kecerdasan rakyat, ya?”

Kali ini Bejo tertawa puas. Sembari bangkit dari posisi duduk ia berkata, “Eta…!”

Baca

Tak lama Pak Daeng muncul. Pak Daeng sudah tahu apa yang jadi kegelisahan Asep.

“Tak usah kau bingung soal orang mau memilih pemimpin yang mana, Sep. Kamu obati dulu kebingunganmu sendiri. Orang boleh pintar, tapi kalau ragu terus, mau kemana juga.” Pak Daeng seperti ceramah sembari merapikan gelas dan piring yang sejak pagi belum dirapikan.

Asep merespon dengan wajah tambah tidak mengerti.

“Kalau pesan orang tua dulu, memilih pemimpin itu simpel. Cari yang kata dan perbuatannya sama, satu, tidak bertolak belakang, apalagi bertentangan.”

Bejo mendengar itu langsung melompat dan berteriak. “Setuju Pak Daeng.”

“Ah, ini Bejo sudah lepas dari keraguan.” Pak Daeng merespon sembari mengangkat tangan mengajak adu tos sama Bejo.

“Ok, ok, cara memilih pemimpin, bahkan presiden sekalipun, cari yang punya bukti, berintegritas dan sama antara kata dan perbuatan,” Asep memberi penegasan.

Ketiganya pun berkumpul dan adu tos bersama.

“Kalau rakyat Indonesia kayak kita bertiga, sepertinya pemimpin ke depan akan membawa kita maju. Bisalah aku jadi penasehat presidennya,” ucap Pak Daeng yang mengundang semuanya tertawa terbahak-bahak.

Seperti biasa, kali ini tawa mereka benar-benar serempak, mengagetkan para tetangga yang sudah waktunya mulai memejamkan mata.*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment