Home Hikmah Membantu Tapi Punya Mau, Lalu?
Membantu Tapi Punya Mau, Lalu?

Membantu Tapi Punya Mau, Lalu?

by Imam Nawawi

Membantu itu pekerjaan hati, sebagai upaya manusia menempuh jalan mulia. Menapaktilasi keteladanan Nabi dan Rasul. Akan tetapi bagaimana sekarang, ada saja orang membantu dengan begitu banyak mau (kepentingan). Lalu? Ya, lalu apakah ini tidak menyedihkan?

Perhatikan judul dalam berita ini: “Bawaslu Usut Caleg di Gorontalo Diduga MInta Warga Kembalikan Rp. 75 Juta.”

Selanjutnya, mari perhatikan judul berita ini juga: “Heboh Caleg NasDem Banyuwangi Diduga Tarik Bantuan Paving Block Usai Kalah Suara.”

Berita itu menyebutkan bahwa bantuan paving block itu sudah siap di Dusun Panjen, Desa Jambewangi, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.

Baca Juga: Inilah Sedekah Istri yang Pahalanya Juga Bagi Keluarga

Tetapi saat perolehan suara tidak sesuai harapan, paving block itu diambil dengan truk tepat dua hari pasca pencoblosan.

Buruk

Perilaku seperti itu tidak perlu kita diskusikan, pasti itu perilaku buruk.

Bayangkan seseorang yang dengan senyum di wajahnya, memberikan bantuan kepada yang membutuhkan, hanya untuk kemudian dengan tangan yang sama, mencabutnya kembali karena merasa hasratnya tak jadi kenyataan.

Perilaku itu seperti menyentuh hati dengan kepahitan dan kekecewaan, memperlihatkan sisi yang tidak terpuji dari manusia yang seharusnya menjadi tanda kasih sayang dan kebaikan.

Dalam kitab Sunan at-Tirmidzi, Ibnu Umar berkata bahwasannya Rasulullah SAW bersabda yang artinya, “Permisalan seseorang yang memberikan pemberian kemudian mengambil kembali hal itu darinya maka ia seperti seekor anjing yang memakan makanan hingga kenyang lalu memuntahkan makanan itu, maka kemudian ia memakan muntahannya kembali. (HR.Tirmidzi)”.

Memberi?

Memberi bantuan itu memang bukan pekerjaan biasa. Orang yang mau memberi berarti telah sampai pada titik sinkron antara akal, hati, dan paradigma tentang untung dan rugi.

Baca Lagi: Jadilah Guru Sejati

Oleh karena itu Allah Ta’ala sangat senang kepada seseorang yang tergerak membantu kesulitan orang lain. Dan, inilah yang jadi paradigma orang-orang terdahulu tak berhenti membantu dan berbagi.

“Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah manusia yang paling banyak bermanfaat dan berguna bagi manusia yang lain.

Sedangkan perbuatan yang paling dicintai Allah adalah memberikan kegembiraan kepada orang lain atau menghapus kesusahan orang lain, atau melunasi hutang orang yang tidak mampu untuk membayarnya.

Atau memberi makan kepada mereka yang sedang kelaparan dan jika seseorang itu berjalan untuk menolong orang yang sedang kesusahan itu lebih aku sukai daripada beri’tikaf di masjidku ini selama satu bulan.” (HR. Thabrani).

Pendek kata, memberi itu mulia. Mestinya kita lakukan dengan kesatuan pemahaman antara akal, hati dan paradigma hidup. Tetapi, kalau memberi berangkat dari kepentingan bukan keikhlasan, maka itu benar-benar memalukan.

Ibrah

Pada dua judul berita itu kita bisa mengambil ibrah (pelajaran) bahwa memberilah karena iman. Membantulah dengan tujuan kemuliaan ingin mendapat rahmat Tuhan.

Jika seseorang tergerak membantu, lalu cara berpikir tentang untung rugi masih materialistik, maka ia tidak akan pernah menemukan jalan kebahagiaan.

Justru sebaliknya, orang yang memberi karena ambisi, ia akan terus hidup dalam bayang-bayang bahwa dirinya akan selalu rugi. Mengapa?

Tidak lain karena hatinya memang sempit, akalnya tidak tajam kecerdasannya.

Dan, yang ia sembah sebenarnya, boleh jadi bukan Tuhan, tetapi uang. Sehingga tidak dapat uang dia bersedih. Mendapat uang ia merasa beruntung.

Soal Tuhan senang atau tidak, ia sepertinya tak ambil pusing. Akan tetapi orang yang seperti itu rentan sekali pusing, stres, dan hidup tidak bahagia. Kepalanya pening, hatinya bingung, dan hidupnya terus terombang-ambing.*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment