Mas Imam Nawawi

- Kajian Utama

Membantu Gen-Z Mengenali Diri sebagai Manusia

Weekend kali ini (Sabtu, 2/3/24) saya sangat senang. Pasalnya dapat bertemu Gen-Z untuk mengenali dirinya sebagai manusia. Mungkin sebagian orang merasa agak aneh, kok membantu mereka mengenali diri sebagai manusia. Akan tetapi ini yang sebenarnya sering Gen-z alami dan butuhkan untuk memandu hidupnya lebih bergairah. Gen-Z adalah anak yang berada pada rentang usia dari 12 […]

Membantu Gen-Z Mengenali Diri sebagai Manusia

Weekend kali ini (Sabtu, 2/3/24) saya sangat senang. Pasalnya dapat bertemu Gen-Z untuk mengenali dirinya sebagai manusia.

Mungkin sebagian orang merasa agak aneh, kok membantu mereka mengenali diri sebagai manusia. Akan tetapi ini yang sebenarnya sering Gen-z alami dan butuhkan untuk memandu hidupnya lebih bergairah.

Gen-Z adalah anak yang berada pada rentang usia dari 12 – 27 tahun. Gen-Z juga disebut “zoomer” merupakan kelompok lahir dari tahun 1997 hingga 2012.

Masalah

Meskipun lahir dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, Gen-Z tak berarti aman dari ancaman.

Data menunjukkan Gen-Z justru rentan dengan masalah kejiwaan. Pemicu utamanya adalah soal keuangan.

Terlalu sering bermain smartphone juga membuat mereka mudah merasa kesepian. Besarnya beban kerja hingga masalah tekanan di sekolah atau kampus, termasuk bullying yang terjadi.

Sejauh ini masalah Gen-Z itu bukan teratasi tetapi justru terus meningkat hingga 200%. Mereka mudah cemas, depresi bahkan ada yang bunuh diri.

Baca Juga: Inilah Syarat Negeri Menjadi Makmur

Terhadap fakta itu beberapa hal diduga harus mendapat perhatian. Mulai dari pola asuh, pendidikan regulasi emosi, keterampilan sosial dan kemampuan hidup.

Sadar

Namun, saya coba melakukan pendekatan eksistensial, yakni dengan mengajak mereka yang sekarang berumur 16 dan 17 tahun mengenali siapa dirinya sebagai manusia.

“Apakah Anda manusia, apakah Anda yakin Anda manusia.” Itulah kalimat tanya yang saya lontarkan kepada mereka.

Sebagian besar terperangah dengan pertanyaan itu. Mungkin itu jenis pertanyaan yang tak pernah mereka bayangkan.

Namun tampak raut wajah mereka berpikir keras untuk menemukan jawaban apakah benar mereka manusia.

Dan, faktanya mereka tidak mau speak up langsung. Mungkin efek kaget.

Namun setelah beberapa menit berjalan, mereka tampak mulai punya konsep.

Tetapi tidak otomatis konsep dalam kepala itu membuat mereka bisa lancar dan lantang mengucapkannya. Lagi-lagi mereka tersenyum, tapi tanda tak mampu menjawab benarkah eksistensinya selama ini memang sebagai manusia.

Manfaat

Pertanyaan apakah diri ini manusia atau bukan, sepintas seperti bermain-main.

Akan tetapi pertanyaan itu memberi manfaat besar. Pertama, mereka akan memulai penalaran tentang manusia dengan sisi perbedaan antara manusia dengan hewan.

Baca Juga: Deru Amal untuk Milenial

Kedua, apa unsur paling dasar yang membuat orang layak kita sebut manusia.

Ketiga, mereka akan menyadari posisinya untuk benar-benar melakukan perubahan fundamental dalam dirinya untuk menjadi insan yang lebih baik.

Dan, terbukti, pada akhir sesi, sebagian peserta yang tampil ke depan menyatakan akan mengubah diri, menjadi manusia yang seutuhnya.

Mereka sadar sejak saat itu bahwa mereka harus banyak membaca, berpikir dan beramal sholeh. Karena memang itu langkah utama paling nyata untuk menjadikan diri ini tetap pantas disebut manusia.

Dalam Islam manusia itu terbuat dari segumpal darah, bodoh dan karena itu harus tekun membaca dan harus menjauhkan diri dari kesombongan.

Oleh karena itu manusia dalam Islam adalah yang memahami ayat-ayat Allah dengan memaksimalkan akal, penglihatan dan pendengaran untuk tunduk kepada-Nya*

Mas Imam Nawawi

 

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *