Setiap pemimpin tentu ingin di masa baktinya bisa hadirkan banyak pembangunan, bahkan kalau perlu, pembangunan yang monumental. Tetapi, rumusnya jelas, semakin ingin membangun yang besar, maka perencanaan semakin diperlukan, tidak bisa dengan buru-buru.
Soal pemindahan ibu kota misalnya, apakah bisa hanya dalam tempo 5 tahun? Mari kita lihat bagaimana negara lain melakukannya, supaya ada referensi empiris.
Australia perlu 45 tahun untuk sukses mengubah desa menjadi Ibu Kota, yakni Canberra.
India juga sama, pemindahan ibu kota dari Kolkata ke New Delhi butuh waktu 20 tahun.
Dengan kata lain, membangun apalagi sekelas ibu kota butuh perencanaan yang matang dan karena itu tidak bisa dengan buru-buru.
Baca Lagi: Kekuasaan itu Amanah
Masalahnya bukan sebatas pada bagaimana kota baru berhasil dibangun, tetapi juga bagaimana setelah dibangun, kota baru itu mampu bertahan sebagai ibu kota negara yang asri, bersih, udaranya baik dan tentu saja tidak mengalami apa yang menjadi sebab ibu kota perlu dipindahkan, seperti kemacetan, kualitas udara, dan lainnya.
Aspek Falsafah Negara
Memindahkan ibu kota juga penting memastikan falsafah negara tegak dalam kehidupan. Misalnya soal keadilan dan pemerataan ekonomi. Jangan sampai ibu kota yang baru ternyata hanya jadi tempat orang-orang kaya.
Seperti yang terjadi di Brasilia, Brasil, yang awalnya dibangun untuk orang kaya dan orang miskin, pada akhirnya hanya menjadi tempat tinggal orang kaya.
Kemanusiaan, ini juga penting. Terlebih kemanusiaan yang adil dan beradab. Jangan sampai upaya memindahkan ibu kota baru menjadikan pemerintah kehilangan kesabaran mengedepankan kemanusiaan dalam pembangunan, sehingga melakukan penebangan hutan dan ancaman kerusakan alam.
Lebih jauh, ibu kota baru juga harus menguatkan semangat warga negara benar-benar hidup di dalam naungan kekuatan spiritual yang memadai, sebagaimana sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Bangsa ini harus tetap religius dan berperadaban tinggi dengan akhlakul karimah.
Kuatkan Kepemimpinan
Berdasarkan uraian di atas, maka membangun ada pada kekuatan kepemimpinan. Presiden RI, baik yang kini berkuasa maupun nanti harus benar-benar memahami bahwa membangun tidak cukup hanya dengan ambisi, butuh ilmu, sinergi, dan tentu saja kebesaran hati.
Membangun itu perlu, membangun itu penting, membangun itu baik, apalagi untuk kepentingan jangka panjang kehidupan bangsa dan negara. Namun membangun harus dilandasi oleh iman dan ilmu yang memadai.
Dengan demikian seorang pemimpin akan memiliki yang namanya humility (kerendahan hati), yang merupakan dasar penting kepemimpinan di masa sekarang dan ke depan.
Baca Lagi: Berprestasi dengan Karya Nyata
Rendah hati artinya mengerti batasan diri, sehingga tidak berlebihan apalagi tanpa kendali dalam membuat kebijakan-kebijakan, terlebih kebijakan besar yang berdampak jangka panjang.
Dalam upaya ini penting bagi pemimpin penting negeri ini melakukan tafakkur lebih dalam, kemudian melibatkan perwakilan rakyat agar upaya dan narasi membangun di negeri ini tidak monopoli hanya pemerintah. Bukankah negeri ini tidak bisa berjalan dengan baik tanpa peran serta warga negara?*