Manusia kerapkali terjebak oleh keadaan sekitar dalam memahami beragam konsep hidup, yang membentuk kesadarannya. Padahal, kesadaran sejati ialah yang berlandaskan Alquran. Itulah mengapa kita perlu memahami tentang “Membangun Kesadaran Quran.”
Ketika Qarun memiliki banyak harta, ia terjebak oleh keadaan yang ia alami. Ia meyakini bahwa kekayaan itu adaah hasil jerih payah dan kecerdasannya.
Sama sekali tidak ada hubungan dengan Tuhan. Karena itu tak ada yang bisa mengatur dirinya untuk mengeluarkan harta, baik dalam bentuk zakat, infak, sedekah maupun wakaf. Tidak ada dan tidak boleh.
Tetapi ketika Allah memberikan hukuman, barulah kesadarannya muncul. Bahwa di balik harta miliknya, ada sang pemberi amanah, yang sewaktu-waktu bisa mengambilnya kapan dan dimana pun juga.
Baca Juga: Sukses itu Buah Ketekunan
Namun, kesadaran Qarun adalah kesadaran yang terlambat. Kesadaran yang tak lagi memberi faedah barang sedikitpun untuk dirinya selamat dari kemurkaan Tuhan.
Fenomena
Dalam kehidupan manusia sekarang, kesadaran seperti Qarun tetap ada. Bahkan orang yang hidup dalam kesulitan ekonomi memandang mereka yang memiliki kelapangan ekonomi sebagai orang beruntung.
Sebagian orang yang memiliki kekayaan harta memang merasa dirinya cerdas, karena bisa menginvestasikan uang miliknya untuk terus meraih keuntungan demi keuntungan.
Sedangkan orang yang tidak kaya, kerapkali mendapatkan pandangan negatif, sebagai orang yang tidak cakap dalam mengelola keuangan, boros, dan tentu saja tidak cerdas. Betapa tidak beruntungnya orang yang hidupnya tidak kaya itu.
Masyarakat pun sebagian ada yang mengamini, sehingga memandang kondisi tidak kaya sebagai kutukan. Lalu mereka berjuang sekuat tenaga sampai lupa syariat. Sholat jarang, ke dukun sering dan berbagai tindak negatif lainnya.
Keterangan Quran
Semua fenomena itu salah dalam pandangan Alquran. Baik atau buruk, kaya atau miskin, melimpah atau terbatas, semua itu adalah ujian.
Allah tidak pernah menerangkan bahwa orang yang punya kekayaan berarti mendapat anugerah. Sedangkan yang miskin mendapat musibah. Keduanya sama, ujian belaka.
“Kami akan mengujimu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan.” (QS. Al-Anbiya [21]: 35).
Baca Lagi: Kekayaan Tak Terhingga Pilot Sriwijaya Air SJ 182
Ibn Katsir menerangkan, bahwa Allah terkadang menguji manusia dengan berbagai musibah. Terkadang menguji manusia dengan berbagai nikmat.
Melalui ujian itu (musibah dan nikmat), Allah ingin melihat siapa yang bersyukur, siapa yang kufur, serta siapa yang bersabar dan siapa yang putus asa.
Ali bin Abi Thalhah berkata, bahwa Ibn Abbas berkata, “Kami menguji kalian” yaitu menguji dengan kesulitan dan kelapangan, kesehatan dan penyakit, kaya dan fakir, halal dan haram, taat dan maksiat, petunjuk dan kesesatan.
Lalu, pada akhirnya, Allah jua yang akan memberikan balasan atas amal-amal setiap manusia.
Dengan demikian, maka teranglah bagi kita bahwa semua kondisi hidup manusia, hakikatnya adalah ujian. Tak boleh ada yang salah paham apalagi salah kesadaran. Semua itu agar diri tetap dalam keimanan dan kebenaran.*