Kalau kita membaca Alquran, kemudian kita merasakan terik dan gelapnya malam, realitas sepertinya jauh berbeda. Ada ruang idealitas dan ada ruang realitas. Meskipun yang namanya realitas selalu manusia identikkan dengan aspek-aspek empiris. Tapi sadarkah kita sebenarnya bahwa ada realitas yang juga manusia tidak sadari? Inilah pentingnya kita membangun kesadaran seutuhnya.
Kita mulai dari dua kesadaran yang sama-sama realitas. Yaitu realitas ekonomi dan realitas lingkungan.
Demi ekonomi yang bagus (entah bagi siapa) seseorang bisa mengatakan eksploitasi alam untuk tambang tidak masalah. Karena dalam aktivitas tambang ada maslahat, katanya. Tentu saja secara ekonomi. Itu pun masih bisa kita gugat, ekonomi untuk siapa?
Realitas Lingkungan Tunduk dengan Realitas Ekonomi?
Sementara itu dalam konteks lingkungan, kesadaran ini jauh lebih mendalam dan penting. Namun, memelihara lingkungan tak banyak orang yang mau membuka perusahaan untuk itu daripada tambang. Artinya, bicara lingkungan tidak mendatangkan keuntungan ekonomi.
Jika antara realitas lingkungan dan ekonomi akal manusia tunduk pada kepentingan ekonomi, mungkin orang bisa senang sementara waktu. Tapi bagaimana kalau bicara hidup berkelanjutan?
Oleh karena itu wajar jika banyak pihak, terutama yang memegang otoritas, lebih tertarik soal tambang daripada lingkungan. Kisruh 4 pulau milik Aceh yang kabarnya hendak dimasukkan ke wilayah Sumut, itu terjadi bukan karena pemeliharaan lingkungan. Tapi karena ada potensi tambang.
Namun, secara prinsip kita bisa memahami bahwa manusia cenderung tertarik pada kesenangan (baca ekonomi).
Soal kesulitan, apalagi tidak akan menimpa dirinya, itu bukan permasalahan. Manusia demi ekonomi (baca serakah) menjadi tidak peduli terhadap lingkungan.
Dahulu satu orang bisa menebang 1 pohon dalam 1 tahun. Kini, ribuan pohon bisa tumbang dalam hitungan jam. Dan, mereka yang kesadaran ekonominya terlalu kuat, itu adalah kemajuan. Benarkah demikian?
Kesadaran Dunia dan Akhirat
Alquran adalah mukjizat, siapa memahaminya dengan benar ia akan memiliki kesadaran jauh, yakni akhirat.
Hanya Alquran yang memberikan gambaran jelas kepada manusia bahwa kehidupan dunia hanya sementara. Semakin orang cinta pada dunia, semakin tenggelam ia dalam kenikmatan semu.
Permasalahan bukan pada semunya kenikmatan, tapi akibat dari mengutamakan yang profan itu, yaitu siksa yang buruk.
“Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.” (QS. Ali Imran: 197).
Mari kita tarik dalam logika empirik saja. Ketika manusia menjamah hutan dengan brutal, yang hilang bukan hanya pohon tapi kehidupan. Kemana burung yang biasa hidup dalam lingkungan hijau itu akan berlabuh?
Bahkan pernah ada satu video yang merekam seekor orang utan di Kalimantan berjalan kesana kemari dengan lingkungan yang sudah tidak ada pohon lagi.
Artinya, manusia dengan merusak lingkungan telah membuat makhluk hidup yang lain seperti dalam neraka. Apakah kita tidak tahu bahwa burung itu juga punya anak yang harus mereka besarkan? Lebih jauh apakah hanya manusia yang berhak hidup enak dengan mengesampingkan makhluk hidup lainnya?
Oleh karena itu kita harus kembali pada jati diri sebagai manusia, yakni Khalifah Allah di muka bumi. Yaitu kita berpikir atas kesadaran yang utuh. Bukan hanya tahunya tentang kesenangan diri dan menghancurkan alam. Sungguh Allah menciptakan manusia bukan untuk melakukan kerusakan demi kerusakan. Saatnya kita belajar pada singa, ia memang memangsa binatang yang lain, tapi dia tak merusak lingkungan.*