Membaca semua orang tahu. Akan tetapi benarkah membaca bukan masalah bagi kaum muda saat ini?
Hampir setiap bangsa di dunia ini mengalami penurunan intensitas membaca dari kaum mudanya.
Dan, kalau fokus ke Indonesia, potretnya jelas, memprihatinkan.
“Tingkat literasi Indonesia pada penelitian di 70 negara itu berada di nomor 62,” ujar Staf ahli Menteri dalam negeri (Mendagri), Suhajar Diantoro pada Rapat koordinasi nasional bidang perpustakaan tahun 2021.
Menjawab Soal
Kalau kita mendapat soal berapa hasil dari 5 X 4 dan menemukan jawaban tidak sampai 3 detik, maka itu karena kita telah belajar, hafal dan sering bertemu soal seperti itu.
Nah, dalam kehidupan pergerakan, soal itu akan terus ada, hanya saja bukan yang pernah kita lakukan dan temukan jawabannya.
Sebagian mungkin substansinya sama, tetapi sensasinya berbeda.
Dahulu orang suka membaca, kata anak sekarang, karena tidak ada gangguan internet. Tetapi dahulu orang mau punya buku butuh tekad kuat.
Dalam arti yang lain, memahami mengapa sekarang banyak anak muda enggan membaca, bukan sebatas soal akses buku yang rendah atau internet yang mengganggu, akan tetapi kesadaran akan membaca itu sendiri yang masih belum kokoh di dalam diri setiap kaum muda.
Baca Juga: Membaca Penting Tetapi Asing
Jadi, soal manusia dari masa ke masa hampir sama, malas membaca. Dan, ketika itu terjadi, sebenarnya bukan hiburan yang jadi sebab, tetapi kesadaran diri yang memang lemah.
Berpikir
Untuk menjawab itu maka membaca harus kita maknai dan manifestasikan secara lebih luas dan jelas.
Membaca bukan sebatas duduk di perpustakaan. Anda rapat saja, kalau tidak ada notulensi, maka Anda akan terseret pada kalimat yang sama dalam rapat berikutnya.
Pertanyaannya, kapan rapat menghasilkan sebuah kemajuan?
Membaca berarti juga rapi dalam mencatat. Tidak berbicara kecuali memahami inti masalah.
Jadi, membaca sekali lagi bukan soal membaca rangkaian huruf dalam paragraf buku, termasuk kerapian kita dalam mendokumentasikan hal-hal penting dalam hidup, katakanlah rapat.
Manifestasi dari membaca juga bagaimana kita mengamalkan apa yang kita pahami dan yakini dengan hati dan teliti.
Jangan seperti Sheldon (dalam film Young Sheldon) sosok anak 9 tahun yang digambarkan cerdas.
Dan, ketika bertemu buku bagaimana mendapatkan teman, ia mempraktikkan isi buku yang ia baca secara leterleks. Hasilnya ia menjadi anak yang aneh dan menyebalkan.
Baca Lagi: Laut dan Pikiran Manusia
Karena manifestasi membaca sebenarnya merupakan output dari upaya nyata kita memproses setiap informasi dengan saringan keyakinan, keilmuan, kepatutan dan tentu saja nilai-nilai kemasyarakatan.
Pada level ini, apakah masih mungkin kita merasa tidak butuh untuk membaca?*