Mas Imam Nawawi

- Artikel

Mematuhi Orang Tua itu Lebih Sulit, Mengapa?

Ketika pelepasan santri SMP Putri, Pesantren Hidayatullah Depok (15/6/25) berlangsung, seorang wali santri maju mewakili para orang tua. Penuturannya kalem tapi tajam. Salah satu kalimatnya adalah: “Ketika kalian lulus, ingatlah. Mematuhi orang tua itu sulit,” tegasnya. Keesokan harinya (16/6/25) saya coba dialog dengan salah satu anak saya. Saya tanyakan perihal itu, mengapa anak sulit mematuhi […]

Mematuhi Orang Tua

Ketika pelepasan santri SMP Putri, Pesantren Hidayatullah Depok (15/6/25) berlangsung, seorang wali santri maju mewakili para orang tua. Penuturannya kalem tapi tajam. Salah satu kalimatnya adalah: “Ketika kalian lulus, ingatlah. Mematuhi orang tua itu sulit,” tegasnya.

Keesokan harinya (16/6/25) saya coba dialog dengan salah satu anak saya. Saya tanyakan perihal itu, mengapa anak sulit mematuhi orang tua.

Ia menjawab, “Karena saat orang tua memberi perintah, anak itu sedang senang dengan permainan. Meskipun anak itu tahu perintah orang tua penting, tak setiap anak bisa melangkah untuk patuh kepada orang tuanya.”

Usai menjawab ia tersenyum kecil. Seakan-akan ingin menegaskan bahwa kalau ada anak yang tidak mendengar, sebenarnya bukan tidak mengindahkan. Tapi karena enggan lepas dari permainan.

Orang Tua Harus Menyadari

Saya kira itu fakta. Bukankah kadang kala orang tua merasa diabaikan saat meminta anaknya melakukan sesuatu. Seolah-olah perkataan mereka masuk kuping kanan keluar kuping kiri.

Namun, respons anak yang seperti itu, bukan berarti mereka sengaja durhaka atau tidak menghormati. Justru, bisa jadi mereka sedang tenggelam dalam dunianya, fokus pada apa yang sedang mereka nikmati.

Namanya anak tentu masih senang dengan bermain. Akan tetapi anak harus kita ingatkan bahwa mereka tidak selamanya menjadi anak-anak.

Orang tua harus menyadari bahwa anak sedang mengalami dilema prioritas. Satu sisi ia tahu taat kepada orang tua penting. Sisi lain ia enggan meninggalkan aktivitas bermainnya.

Jadi, langkah orang tua adalah bagaimana menanamkan kematangan berpikir kepada anak, sehingga mereka bisa memilih prioritas secara tepat.

Sisi lain, orang tua perlu memperhatikan momentum. Jangan pas anak baru bermain kita berikan perintah. Tentu itu akan mengganggu dia. Kemudian kalau orang tua juga tidak sadar, emosinya juga akan terganggu oleh respon sang anak.

Jadi, tumbuhkan juga empati dari kita sebagai orang tua kepada anak. Memaksa mungkin efektif, tapi jangan itu selalu kita lakukan. Sebab anak bisa salah paham. Ia bisa menganggap ayah atau ibunya tidak sayang kepadanya.

Tantangan

Mendidik anak memang tak seperti membangun gedung, jalan tol, atau rel kereta cepat. Mendidik anak lebih sulit dari membelah gunung. Itulah kenapa Rocky Gerung ingin pemerintah itu memberi perhatian terhadap pembangunan jalan akal pikiran. Sebuah kalimat yang memang bangsa ini butuhkan.

Akan tetapi itulah tantangan dalam mendidik anak. Apalagi kalau anak tak patuh, jelas ini sebuah tantangan nyata.

Bagi anak, ini penting jadi latihan untuk memilih prioritas yang tepat dan berlatih tanggung jawab. Bagi orang tua ini kesempatan melakukan dialog yang membangun dengan penuh kasih sayang.

Puncaknya, orang tua harus menyadari, bahwa anak itu telah taat kalau telah melaksanakan apa yang jadi hak Allah SWT atas dirinya dan hak kita sebagai orang tua.

Dalam hal beda pemikiran, ide dan gagasan dalam memandang sesuatu, terlebih ketika anak sudah usia 17 tahun ke atas, maka itu bukan hal yang patut kita pertentangkan. Karena anak kita penting untuk bisa menjawab tantangan hidup masa depan. kita boleh mengarahkan, tapi jangan mematahkan impian-impiannya.*

Mas Imam Nawawi

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *