Home Opini Memasukkan Kesadaran Filantropis dalam Paradigma Bisnis, Mungkinkah?
Filantropis

Memasukkan Kesadaran Filantropis dalam Paradigma Bisnis, Mungkinkah?

by Imam Nawawi

Alotnya perjuangan teman-teman driver ojol (ojek online) mendapatkan THR (tunjangan hari raya) dari perusahaan mereka bernaung patut jadi renungan kita. Benarkah bisnis secara paradigmatik sulit menerapkan sikap filantropis kepada mitranya sendiri?

Betapa sulitnya itu, presiden sampai turun tangan. Prabowo meminta ojol hingga kurir online dapat THR. Belakangan beredar berita bukan THR yang turun, tapi bonus berupa uang.

Apapun itu namanya, kepedulian perusahaan kepada mitranya, dalam hal ini ojol pasti mendatangkan maslahat.

Seorang ojol berharap, kalau ada THR ia akan membeli daging. Saya yakin banyak ojol yang mendambakan uang itu.

Tapi bagaimana kira-kira orang perusahaan memandang harapan itu?

Paradigma Bisnis

Jika dianalisis lebih dalam, akar masalah ini sebenarnya berpijak pada paradigma bisnis yang dominan, yakni profit oriented atau fokus pada keuntungan semata.

Dalam paradigma ini, mitra dipandang tidak lebih sebagai elemen produksi atau angka statistik belaka, bukan sebagai manusia yang punya kebutuhan, harapan, dan aspirasi.

Ironisnya, saat dunia berbondong-bondong menerapkan konsep ESG (Environmental, Social, and Governance) yang menuntut praktik bisnis lebih manusiawi dan bertanggung jawab sosial, praktik nyata di lapangan masih jauh dari idealisme ini.

Filantropi seharusnya tidak lagi menjadi aktivitas opsional atau sekadar pencitraan. Filantropi harus kita pandang sebagai investasi strategis, bukan sekadar biaya sosial yang membebani perusahaan.

Peduli Investasi Pasti

Sebagian perusahaan mungkin khawatir bahwa filantropi akan menggerus keuntungan. Padahal, banyak studi membuktikan bahwa investasi sosial kepada mitra maupun karyawan justru meningkatkan produktivitas dan loyalitas yang akhirnya berujung pada profitabilitas jangka panjang.

Pyton dan Moody mengartikan filantropi sebagai “tindakan luhur untuk menjawab masalah kemanusiaan”.

Artinya, dalam kasus ojol, jika mereka mendapatkan perhatian lebih dalam bentuk THR yang layak atau tunjangan sejenis, dampaknya bisa signifikan.

Pertama, perusahaan bisa memanusiakan mereka. Kedua, mitra merasa mendapat penghargaan sebagai manusia.

Otomatis kepuasan mitra meningkat, pelayanan terhadap pelanggan semakin baik, dan reputasi perusahaan pun terdongkrak positif.

Perubahan Paradigma

Dalam situasi ini, diperlukan perubahan paradigma yang radikal dalam dunia bisnis Indonesia.

Pemerintah memang bisa mendorong kebijakan agar perusahaan-perusahaan digital lebih peduli terhadap mitranya.

Namun, tanpa kesadaran dari pelaku usaha sendiri, kebijakan itu hanya akan menjadi formalitas semata. Kesadaran ini tidak akan tumbuh jika pebisnis hanya melihat filantropi sebagai beban, bukan sebagai nilai tambah strategis.

Bisnis masa depan adalah bisnis yang sadar bahwa ia tidak hanya hidup untuk dirinya sendiri, melainkan tumbuh bersama mitranya.

Ojol bukan sekadar mitra yang melayani konsumen, mereka adalah wajah nyata perusahaan dalam mata hati masyarakat.

Maka, berinvestasi dalam kesejahteraan mereka adalah keuntungan yang sesungguhnya dalam bisnis berkelanjutan.

Satu renungan penting, ketika filantropi berakar kuat dalam DNA bisnis, semua pihak—perusahaan, mitra, konsumen, bahkan masyarakat secara luas—akan menuai manfaatnya. Termasuk bangsa dan negara Indonesia.*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment