Tidak sedikit orang terkejut dengan kehadiran AI. Dunia akademik paling depan bereaksi dengan hadirnya AI. Namun, benarkah tidak ada jalan untuk bisa memaslahatkan teknologi AI?
Dalam sebuah dialog bersama seorang dosen, saya menangkap betapa galaunya sekarang para pendidik di perguruan tinggi.
Baca Juga: Teknologi dan Ibadah
Boleh jadi penjelasan dosen kalah update dari apa yang mahasiswa peroleh dari ketekunan menggunakan AI.
Apalagi AI oleh banyak pihak dinilai akan mampu menggeser peran manusia pada jutaan jenis pekerjaan. Pertanyaannya adalah apakah AI benar-benar akan menggantikan fungsi kerja otak manusia?
Dalami dan Taklukkan
Allah telah menegaskan bahwa manusia adalah sebaik-baik makhluk. Artinya, tak mungkin ada ciptaan yang bisa menggeser manusia.
Kalau membantu pekerjaan manusia, itu mungkin. Dan, sepanjang sejarah manusia, teknologi memang berfungsi pada sisi itu.
Jepang, kata seorang ahli, maju dalam produksi robot rumah tangga, karena untuk memenuhi kebutuhan tenaga yang bisa bekerja di dalam rumah, mengingat orang Jepang tidak mau punya anak dan tidak ada tenaga muda.
Artinya, AI harus kita dalami dan bahkan harus bisa kita tundukkan. Bagaimanapun AI harus kita tempatkan secara biasa, apa adanya, objektif.
Kita sebagai makhluk berakal jangan menyimpan anugerah besar itu dan mengedepankan rasa takut tanpa alasan dalam menghadapi AI.
Karena pada dasarnya AI adalah alat. Namun sebagai alat, tergantung manusia yang menggunakan. Apakah jadi pisau analisa, pisau dapur, atau pisau di tangan penjahat.
Saya sendiri melihat AI bisa jadi asisten yang memudahkan dalam hal menghimpun data, memperpendek waktu ketimbang harus browsing secara manual melalui browser.
Belajar Berbahasa
Bagi orang yang sedang belajar menulis, AI sangat efektif untuk belajar berbahasa dengan baik.
Sebuah kalimat akan AI ubah dalam redaksi yang lain dengan substansi yang sama. Entah dengan bahasa biasa, normatif, atau bahkan puitis, tergantung prompt yang kita perintahkan kepada AI.
Baca Lagi: Kreatif Melihat Indonesia
Pendek kata, jangan memandang AI secara berlebihan. Baik berlebihan dalam arti yang positif atau pun yang negatif, takut tanpa alasan dan sangat berlebihan.
Mungkin AI bisa menulis apa saja yang kita mau, tetapi bagaimanapun hanya manusia yang bisa menulis dengan rasa. Karena tak satupun ciptaan manusia bisa merasa, karena jiwa atau ruh hanya Tuhan yang mampu menciptakannya.*