Kala malam tiba, dan tirai senja meluruh di ufuk barat, satu per satu lampu-lampu mulai menyala. Mulai dari temaram lampu rumah, gemerlap lampu jalan, hingga kerlap-kerlip lampu kendaraan. Ya, kita semua butuh alat penerang yang memancarkan sinar, itulah lampu.
Namun, dalam perjalanan hidup yang penuh liku ini, cahaya lampu saja tak akan pernah cukup. Kita butuh memahami hati, sang lentera jiwa yang dapat menangkap dan memantulkan cahaya Ilahi.
Hati itu, walau tak kasat mata dan bersemayam di dalam dada, memiliki kekuatan dahsyat yang tak dapat kita elakkan.
Lihatlah, ketika amarah menguasai hati, lisan akan setajam belati, dan dari wajah terpancar api yang berkobar kemerahan. Tangan terkepal, siap menerjang apa saja yang menghalangi.
Pernahkah kita perhatikan, bagaimana dua insan yang terikat janji suci, suami dan istri, bisa saling berpaling, saling memunggungi? Di saat itulah, hati mereka tengah tersesat, tak mampu lagi saling memahami, tak mampu lagi saling merangkul dalam sunyi.
Baca Juga: Menulis itu Memulai
Oleh karena itu, sungguh penting bagi kita untuk memahami hakikat hati, merawatnya dengan penuh kasih, dan memenuhi kebutuhannya akan cahaya Ilahi.
Kebenaran: Cahaya yang Menembus Tirai Ilusi
Dari mana kita mengenal kebenaran? Dari mata hati, sang jendela jiwa. Karena yang terlihat oleh mata kepala, yang tampak oleh indera, tak jarang menipu, berselimut ilusi yang meninabobokan.
Al-Qur’an Surah Al-Hajj ayat ke-46 pun menegaskan, bahwa bukan mata kepala yang buta, melainkan mata hati yang tersembunyi di dalam dada. Kapan kebutaan itu terjadi? Ketika manusia menutup diri dari kebenaran, enggan mendengar dan memahami bisikan nurani.
Fir’aun, dengan segala keangkuhannya, terlampau empiris dalam memandang kehidupan. Ia gagal meyakini bukti-bukti kebenaran, yang sesungguhnya telah meluluhkan logikanya. Seperti kata Daniel Goleman dalam “Emotional Intelligence”, manusia memang lebih mudah tunduk pada bisikan nafsu daripada kebeningan nalar.
Begitu pun dengan Qarun, yang memandang segala sesuatu sebagai hasil usahanya semata, ia lupa pada hakikat kebenaran, bahwa kekayaan harta hanyalah titipan sementara. Ia memilih jalan kesombongan, dan akhirnya tenggelam bersama keangkuhannya itu.
Kekuatan: Menjaga Api Hati Tetap Menyala
Laksana raga yang membutuhkan asupan, hati pun mendamba nutrisi agar tetap kuat dan bercahaya.
Syeikh Said Abdul Azhim dalam buku “Rahasia Kesucian Hati” menerangkan bahwa hati kita membutuhkan kekuatan iman dan ketaatan. Ia perlu dijaga dan dibentengi dari dosa, maksiat, dan pengingkaran yang meredupkan cahayanya.
Allah SWT telah berulang kali mengingatkan kita agar menjauhi langkah-langkah setan (QS. Al-Baqarah: 168). Karena sesungguhnya, setan tak pernah mengajak pada kebaikan, ia hanya menjerumuskan pada keburukan, kejahatan, dan kerugian yang nyata.
Namun, meski godaan begitu kuat, hanya hati yang terjaga, hati yang senantiasa diterangi cahaya Ilahi, yang akan selamat dan tak akan tersesat. Biarlah hati kita menjadi suluh yang menerangi jalan hidup kita.*