Pancasila yang menjadi dasar negara kadang-kadang tampak tidak benar-benar menjadi ruh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama pada sisi perilaku pembuat kebijakan yang ada. Bahkan tidak jarang orang yang harusnya Pancasilais justru melecehkan Pancasila itu sendiri.
Prof Hamid Fahmy Zarkasyi menuliskan itu: “Rasional Tanpa Menjadi Liberal” Vol.1.
“Seorang yang melakukan kejahatan seperti korupsi, membunuh, berzina, menipu dan lain-lain, adalah orang yang melecehkan sila pertama Pancasila. Jadi orang yang tidak mengamalkan sila pertama itu tidak religius sekaligus tidak Pancasilais” (halaman: 354).
Bahkan dalam beberapa catatan sejarah, Pancasila bukan jadi komitmen membentuk watak dan kepribadian, malah jadi alat mematikan untuk memukul lawan politik.
Baca Juga: Islam dan Pancasila ini Pandangan Tajam Gus Hamid
Prihatin? Memang sejarahnya pernah seperti itu. Maka kemampuan berpikir adil dan komprehensif sangat kita butuhkan.
Seperti dahulu pernah ramai soal RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila. Menurut Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun menilai, dengan menjadikan Pancasila sebagai Undang-undang, berpotensi menjadi alat gebuk pemerintah untuk membungkam lawan-lawan politiknya
“Pancasila yang seharusnya menjadi alat pemersatu bangsa, akan menjadi alat pemecah belah rakyat Indonesia,” kata Refly dalam diskusi virtual yang Pengurus Pusat Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KBPII) seperti lansir Viva.
Senada dengan pemikiran Prof Hamid di atas, Refly juga menyebutkan bahwa orang yang justru tidak Pancasilais merasa aman dengan perilakunya yang melecehkan Pancasila.
“Padahal yang harus diwaspadai adalah mereka para koruptor sebagai tidak Pancasilais tapi berlindung di balik kekuasaan yang mengaku paling Pancasilais,” ungkap Refly.
Identitas
Pancasila merupakan identitas bangsa Indonesia yang beragam, termasuk dalam hal keyakinan. Tetapi satu hal, bangsa Indonesia bangsa yang beragama bukan tanpa agama.
Dr H Ishaq: “Pendidikan Pancasila” menjelaskan bahwa kalau kita perhatikan secara seksama susunan sila-sila Pancasila secara sistematis-hierarkis mengandung nilai-nilai keruhanian yang lengkap dan harmonis.
Yang mana nilai-nilai itu meliputi materiel, vital, kebenaran, estetika, enis, maupun religiusitas.
Jadi, Pancasila mestinya hidup, bukan mati dalam ruang nyata bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sekarang kalau kita tanyakan, mengapa para koruptor mudah mendapat remisi dan bebas cepat?
Jawaban pengelola kebijakan adalah aturannya memang begitu. Kalau kita tanya lagi, apakah aturan itu memanivestasikan nilai-nilai Pancasila?
Tambah lagi, mengapa pemerintah begitu kordial kepada orang-orang yang tidak Pancasilais itu (yakni para koruptor)?
Kalau begitu berarti kita bisa duga bahwa Pancasila sebagai identitas tidak melekat kuat. Justru kian jauh. Ya, jauh panggang dari api.
Pandangan Bung Karno
Kembali pada pemikiran Prof Hamid, Bung Karno menyebut Pancasila sebagai philosophische grondslag (filosofi dasar) yang dalam bahasa Inggris “worldview.”
Ninian Smart mendefinisikan bahwa worldview adalah kepercayaan, perasaan dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang yang berfungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral.
Artinya, menurut Prof Hamid, mengutip definisi Alparslan Acikgenc,worldview berarti asa setiap perilaku manusia, karena manusia tidak akan melakukan sesuatu pun diluar pandangan hidupnya.
Prof Hamid menyimpulkan, “Jika Pancasila – sebagai dasar negara Indonesia – adalah sebuah worldview bangsa Indonesia, maka ia harus berfungsi menjadi penggerak bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral.
Pancasila harus menjadi asas setiap perilaku bangsa Indonesia. Jika menjadi paradigma maka Pancasila harus memandu tindadkan keseharian bangsa Indonesia.”
Baca Lagi: Amal Politik dan Kemerdekaan
Pertanyaannya, apakah menaikkan harga BBM itu Pancasilais. Apakah menghukum ringan koruptor adalah tindakan Pancasilais. Apakah tidak benar-benar bekerja secara serius melindungi data negara maupun rakyat juga Pancasilais.
Dalam hati, Anda pasti tahu apa jawabannya. Tetapi kita tidak perlu menuding hidung siapapun. Apalagi membebankan ini kepada pemerintah semata. Dari sini mari mulai berpikir untuk ke depan lebih baik.*