Hadirnya media sosial sejatinya memberi kebaikan bagi umat manusia, di mana satu sama lain dapat saling komunikasi, saling mengenal bahkan sinergi dalam ragam kebaikan. Tetapi, tidak bisa kita pungkiri ada sebagian orang yang menjadikan media sosial sebagai sarana komunikasi yang negatif dan cenderung gaduh.
Beragam fenomena yang hadir di ruang publik, kaitan dengan status media sosial menunjukkan bahwa di dunia ini, baik nyata maupun maya ada orang-orang tertentu yang menjadikan media sosial dengan kadar tanggungjawab yang begitu tipis.
Baca Juga: Media Sosial Sebagai Sarana Edukasi dan Wahana Bersyukur
Idealnya, ketika bermedia sosial orang mengerti bahwa itu sama dengan hidup di alam nyata, jadi tetap menggunakan kalimat atau kata yang baik, tidak provokatif, tidak SARA dan hal-hal lain yang dapat mengundang kegaduhan.
Buruknya, dalam konteks media sosial yang cenderung gaduh ada sebagian naik ke meja hijau dalam kasus tertentu.
Kemudian ada yang tidak diseret sama sekali, walaupun nalar publik dan dalam pandangan hukum, hal itu sudah cukup memadai untuk dimejahijaukan. Di sini media sosial ternyata dapat memengaruhi keresahan dan potensi-potensi perpecahan.
Prinsip Bermedia Sosial
Sebuah dokumen menyebutkan bahwa setidaknya ada tiga prinsip dalam mengunggah konten di media sosial.
Pertama, tidak merugikan diri sendiri. Kedua, tidak merugikan orang lain. Ketiga, tidak melanggar hukum.
Tidak merugikan diri sendiri bisa apa saja. Misalnya diri sedang di dalam masalah, down kata orang sekarang, maka sebisa mungkin hindari berkeluh kesah di media sosial tentang apa yang terjadi.
Apalagi kalau sekedar dialog imajiner yang isinya menembus batas toleransi jagat media maya (netizen), seperti yang baru-baru sedang heboh dan membuat gaduh.
Selanjutnya penting untuk kita mengerti bahwa media sosial adalah semacam catatan harian setiap orang yang memiliki akun media sosial. Di situ semua tersimpan dengan rapi yang siapa pun bisa melihat dan membaca, termasuk anak dan cucu sendiri.
Oleh karena itu, jangan bermedia sosial dengan ketidakpahaman, apalagi amarah dan sekedar ikut-ikutan. Ingat setiap ditulis dan dibagikan, itu akan dibaca orang banyak.
Sejuk dan Membangun
Bermedia sosial idealnya mengarah pada bagaimana menghadirkan suasana yang sejuk dan membangun.
Langkah ini tidak saja perlu disadari dan dilakukan oleh publik, tetapi juga ranah penegak hukum memiliki komitmen yang sama, sehingga beragam kasus yang terjadi secara terbuka dapat diakses publik bahwa itu memenuhi prinsip-prinsip keadilan.
Di saat yang sama, para elit, media massa, dan unsur lainnya harus mulai bernarasi secara sejuk dan membangun. Bisa kritik, tetapi dengan nuansa yang memberikan pemahaman dan kecerdasan, bukan olok-olokan.
Baca Lagi: Pentingnya Rem di Media Sosial
Bagi umat Islam, kesadaran ini penting sekali. Karena Alquran memberi rambu-rambu tegas mengenai hal ini.
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman. Dan barangsiapa tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hujurat: 11).
Dengan demikian, poinnya kita harus “bertaubat” di dalam bermedia sosial. Media sosial memang dunia maya. Tetapi tidak ada dunia maya tanpa dunia nyata. Jadi, etika dan tuntunan Alquran di alam nyata itu juga yang perlu kita jadikan perhatian di dalam dunia maya.
Jika ini mampu kita pahami dengan baik, maka insha Allah media sosial di Indonesia akan berdampak baik bagi kerukunan, keakraban dan kemajuan umat, rakyat, bangsa, agama dan negara.*