Media cetak pernah menjadi sumber informasi utama, seperti National Geographic, yang bertahan lebih dari satu abad. Saya sendiri dulu senang sekali kalau membaca koran. Mulai dari Kaltim Post hingga Republika. Tetapi kini media cetak tak lagi jaya.
Terbukti, National Geographic pada 28 Juni 2023 resmi tutup.Media yang terbit sejak 1888 itu memberhentikan 19 penulis terakhirnya. Fenomena ini mencerminkan tantangan global yang juga dirasakan di Indonesia.
Di Indonesia, jumlah media cetak menurun drastis. Dari 593 media pada 2021, hanya 399 yang tersisa pada 2022. Penurunan 32,7% ini menandai masa kritis bagi media cetak untuk bertahan di tengah perubahan cara konsumsi informasi masyarakat.
Beberapa media besar sudah mengambil langkah adaptasi. Koran Tempo berhenti terbit pada 31 Desember 2020, diikuti Harian Republika yang sepenuhnya beralih ke digital pada 31 Desember 2022.
Media seperti Majalah Hidayatullah, yang masih bertahan hingga 2024, juga menghadapi tantangan besar. Perlahan akan terus menurun dan pembaca juga telah berganti generasi.
Mengapa Media Cetak Menurun?
Perubahan kebiasaan masyarakat menjadi penyebab utama. Digital lebih mudah diakses dan murah dibandingkan membeli media cetak.
Selain itu, media cetak menghadapi beban operasional tinggi, dari cetak hingga distribusi, yang sulit bersaing dengan efisiensi media digital.
Pandemi COVID-19 mempercepat penurunan ini. Banyak perusahaan media tutup karena tekanan finansial. Akibatnya, lapangan kerja di sektor media cetak pun semakin menyusut.
Transformasi menjadi keharusan. Media seperti Republika dan Tempo berhasil beralih ke platform digital. Namun, transisi ini tidak selalu mudah, terutama untuk menjangkau wilayah dengan akses digital terbatas.
Kelemahan Media Digital
Media digital menawarkan kemudahan, tetapi juga membawa tantangan besar. Informasi yang berlimpah membuat orang mudah jenuh dan terbebani. Setiap konten digital cenderung cepat terlupakan, hilang dalam hitungan menit karena arus informasi terus mengalir.
Baca Juga: Jejak Kebaikan yang Tak Terlihat
Selain itu, media digital kerap menyita banyak waktu. Orang kehilangan semangat untuk berinteraksi sosial karena terlalu sibuk di dunia maya.
Ini menjadi tantangan tersendiri bagi media Islam untuk menghadirkan konten yang tidak hanya relevan, tetapi juga mendidik dan membangun kebersamaan.
Harapan untuk Media Islam Cetak dan Digital
Meski media cetak sulit bangkit, peluang tetap ada bagi yang mampu berinovasi.
Pada 2025, media cetak kemungkinan hanya bertahan di segmen eksklusif atau bertransformasi penuh ke digital. Media Islam, baik cetak maupun digital, perlu mengambil langkah strategis agar tetap relevan.
Pertama, media Islam harus berfokus pada konten berkualitas yang mampu memberikan solusi, inspirasi, dan panduan hidup.
Kedua, inovasi teknologi diperlukan untuk menjangkau pembaca lebih luas, termasuk mengoptimalkan media sosial. Ketiga, membangun komunitas pembaca yang loyal menjadi kunci keberlanjutan.
Keberhasilan media Islam tidak hanya diukur dari jumlah pembaca, tetapi juga dari dampaknya dalam membangun masyarakat.
Inilah tantangan dan peluang besar bagi media Islam di era digital, untuk menjadi rujukan sekaligus inspirasi.
Satu hal yang juga penting jadi perhatian, generasi pembaca media cetak sudah berganti. Mereka yang kita sebut milenial, Gen-Z dan seterusnya.
Siapa yang bisa menjawab kebutuhan media Islam? Tentu anak-anak yang lahir untuk menjawab tantangan zamannya. Kepada mereka keberlanjutan media Islam bisa kita gantungkan.*