Kalau kita perhatikan berita belakangan, iramanya sama. Setiap pejabat mau terus menjabat. Nadanya pun tampak seperti rasional. Namun akal manusia normal terlalu mudah membaca, semua itu hanyalah keinginan.
Mulai dari narasi perpanjangan masa jabatan orang nomer satu. Kemudian menunda pemilu untuk amandemen UUD 45. Dan, mari pikirkan ulang rencana Pemilu 2024. Artinya, apakah tidak sebaiknya kalau kita menunda.
Mengapa narasi itu hadir dan memberi warna pemberitaan dan perbincangan publik? Jawabannya sederhana. Yaitu bagaimana bisa terus menjabat.
Baca Juga: Paradoks Jabatan Publik
Menyandang jabatan memang menyenangkan. Beragam fasilitas mengiringi. Belanja tak jadi pikiran. Mau apapun sepertinya semua telah ada dan tersedia. Siapa tak mau hidup yang seperti itu?
Bahaya
Jabatan memang memberikan jaminan kenyamanan. Akan tetapi ada potensi bahaya, terlebih kalau sikap amanah tidak menjadi perhatian utama.
Rasulullah SAW menasihati Abdurrahman ibnu Samurah dengan bersabda.
“Wahai Abdurrahman ibnu Samurah, janganlah engkau meminta jabatan. Sesungguhnya jika jabatan itu diberikan kepadamu lantaran permintaanmu, maka urusan jabatan itu akan dilimpahkan (sepenuhnya) kepadamu. Namun jika jabatan itu diberikan kepadamu tanpa engkau minta, maka engkau akan dibantu untuk menanggungnya.” (HR. Al-Bukhâri).
Kalau mereka mau menjadikan hadits ini sebagai panduan, maka mereka akan waspada. Bahkan lebih jauh akan lebih memilih meninggalkan amanah itu apabila telah usai masa berlakunya.
Bukan bertahan apalagi mempertahankan jabatan. Sebab kalau sampai ada niat menghendaki sebuah jabatan, maka ia tidak akan mendapat dukungan dari Allah Ta’ala.
Sekalipun kalau tetap mendapat amanah lagi, setidaknya kita tidak terseret untuk mengkondisikan, merekayasa, dan mendesain agar dirinya kembali menjadi pejabat. Sebab menginginkan jabatan memang sangat tidak dianjurkan dalam Islam.
Tanggungjawab
Jabatan itu artinya amanah dan tentu ada unsur tanggungjawab.
Logemann seperti dikutip oleh Teuku Saiful Bahri Johan dalam bukunya “Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dalam Tataran Reformasi Ketatanegaraan Indonesia” memberikan sebuah penjelasan tentang jabatan.
Negara itu ada jabatan pemerintahan, yakni lingkungan pekerjaan tetap yang dilekati dengan wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, yakni semua tugas-tugas kenegaraan selain bidang pembuatan undang-undan dan peradilan.
Kalau kita ambil itu sebagai timbangan, maka semua pejabat negara fokusnya satu. Yaitu bagaimana setiap pejabat bertanggungjawab sesuai kewenangannya. Kemudian fokus untuk kualitas kerja secara maksimal. Ia tidak perlu sibuk mengurus apakah selanjutnya jadi pejabat atau tidak.
Baca Lagi: Komunikasi Politik Bukan Tanpa Arah
Akan tetapi, dunia ini memang tempat manusia mendapatkan ujian. Tinggal mereka semua, apakah sadar dan memilih menjadi orang yang berakal atau tetap menjadi manusia dengan hati yang bukan lagi manusia yang berakal. Kata Bung Haji Rhoma Irama, “Semua terserah kita.”*