Home Kajian Utama Masa Ketiadaan
Masa ketiadaan

Masa Ketiadaan

by Imam Nawawi

Apakah diri kita ini ada? Benar ada, setelah melalui masa ketiadaan. Namun tak banyak orang tertarik memahami hal ini.

“Seseorang yang merenung dengan penuh kesungguhan tentang asal muasal dirinya, akan menyadari bahwa beberapa dekade yang lalu ia tidak wujud.”

Itulah ungkapan Syed Muhammad Naquib Al-Attas dalam bukunya “Islam dan Sekularisme” pada halaman 68.

Baca Juga: Menggali Mutiara Hidup dari M. Natsir dan Abdullah Said

Kalimat itu memberikan penjelasan kepada kita bahwa setiap manusia dulunya tidak ada atau berada dalam masa ketiadaan. Sampai kemudian Allah menghendaki kita sekarang ada, maka menjadi ada.

Logikanya terang, ketika dahulu setiap jiwa berada dalam masa ketiadaan, kemudian Allah menjadikan ada dengan kehendak-Nya, maka tidak ada jalan terbaik bagi manusia kecuali memahami dan tunduk terhadap apa yang menjadi perintah dan larangan-Nya.

Sifat dunia yang semu ini hendaknya tidak membuat manusia kehilangan akal, lalu hidup dengan menjadi hamba hawa nafsu. Berburu harta menyembelih nurani, demi sengsara yang pasti terjadi.

Sementara Jua

Ketika manusia lahir dan menjadi dewasa, keberadaannya pun sementara jua. Tak mungkin selama-lamanya. Ini karena memang sifat dunia demikian, tidak kekal abadi.

Sayang banyak orang tak menyadari bahwa sebelum 2023 ia pernah hidup pada 2000 bahkan sebelum itu.

Kalau seseorang sebelum 2023 bukanlah siapa-siapa, lalu pada 2024 ingin menjadi wakil rakyat. Kemudian berjanji akan A, B dan C. Maka seharusnya setelah terpilih ia akan mengingat janjinya sendiri, akan A, B dan C.

Sayang seribu kali sayang manusia banyak yang lupa pada masa sebelum ia menjadi apa-apa, yang niatnya mulia, ucapannya baik dan janjinya manis.

Mengapa manusia bisa begitu? Tidak lain karena ia lupa akan logika masa ketiadaan. Termasuk tidak ingat akan fakta sebelum menjadi apa-apa.

Anehnya, sekalipun hal seperti ini mudah bagi nalar mencernanya, sebagian manusia justru merasa bahwa yang sementara jua ini seakan jadi selama-lamanya.

Dari sinilah drama demi drama hadir dalam pentas dunia. Lebih sadis dari fiksi, lebih buruk dari kenyataan. Dan, lebih gila dari imajinasi. Manusia bahkan bisa jadi lebih buas dari binatang liar.

Teguh Tak Goyah

Namun, kembali pada uraian Syed Muhammad Naquib Al-Attas, kalau manusia menyadari akan dirinya dalam masa ketiadaan, maka ia akan mengisi kehidupan ini dengan nilai-nilai kebenaran. Ia teguh tak akan pernah goyah.

Baca Lagi: Jadilah Top Skor Kebaikan

Seperti M. Natsir, yang tumbuh menjadi anak, remaja, pemuda bahkan orang dewasa yang berwibawa karena keahliannya dalam perang kata-kata dan integritas yang luar biasa.

Sejak kecil Natsir sangat serius melatih adab dan akhlak tumbuh dalam dirinya, sehingga ia mampu menjadi sosok yang hidup dengan keteladanan nilai kesederhanaan, kemandirian, ketekunan dan kepercayaan diri yang tinggi.

Natsir dengan posisi dan keilmuannya tak pernah memandang uang senilai Rp. 349 triliun akan membahagiakan hidupnya kalau ia genggam.

Jauh, itu bukan karakter manusia yang sadar akan masa ketiadaan dan kepastian datangnya masa yang setiap jiwa akan bertanggung jawab akan apa yang telah dilakukan dalam kehidupan fana ini.

Oleh karena itu, selagi ada kesempatan, bayangkan masa ketika kita lahir. Masa saat orang tua tertawa atau bahkan menangis bahagia. Apakah ayah dan ibu kita berharap kita menjadi koruptor atau memimpikan kita menjadi motivator dan aggregator kebaikan?*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment