Langit masih cukup gelap, lampu-lampu penginapan di Pulau Derawan masih menyala. Saya duduk sembari membaca buku seorang tokoh besar Indonesia. Dari buku itu saya menemukan satu hal bahwa masa kanak-kanak orang besar relatif sama.
Kesamaan itu terletak pada kejelasan visi hidup dan rutintas mereka. Mulai dari hidup sederhana hingga kecintaan yang mendalam terhadap aktivitas membaca.
Dari tradisi membaca yang terbangun sejak masa kanak-kanak itu, mereka tumbuh menjadi manusia besar yang memiliki kapasitas, kontribusi dan inspirasi banyak orang.
Baca Lagi: Hebatnya Pemuda Amanah
Dalam satu uraian masa kanak-kanak artinya masa seorang anak mulai mampu melihat, mendengar, menerima sesuatu yang menjadikan ia ingin melakukan atau meniru seseorang dalam suatu kebaikan.
BJ Habibie Kala Kanak-Kanak
Sejak kecil Habibie memang lebih serius. Sukanya berbeda dengan teman sebanya. Ia bermain hanya ketika telah menuntaskan pekerjaan rumahnya.
“Dan jika main dengan Blokken (micano), ia akan membuat kapal terbang dan sebagainya. Sejak kecil memang itulah kesukaannya.” (Lihat buku The Ture Life of Habibie, halaman: 25).
Habibie bahkan tak sekedar suka membaca ia juga rajin mengaji. Dalam upaya itu Habibie seperti orang mengambil air dari sumur untuk mengisi gentong air minum.
“Selama mengaji BJ Habibie termasuk yang paling rajin dan cepat menghafal bacaannya. Karena itu ia berhasil khatam beberapa kali.”
Pada akhirnya kala SMA Habibie tampil menonjol, terutama pada pelajaran eksakta, seperti matematika, mekanika dan lainnya.
Kegemaran membaca sejak kecil jadikan ia tak perlu terlalu keras mengdapatkan nilai yang baik. Ia tak kenal belajar sistem kebut semalam. Karena sejak kanak-kanak memang gemar membaca.
Ustadz Abdullah Said
Sekalipun sisi kontribusi keilmuan antara Habibie dan Ustadz Abdullah Said sangatlah berbeda, masa kanak-kanak dua orang besar ini penting kita hadirkan.
Sejak SD Abdullah Said sangat tekun membaca. Kalau soal nilai sekolah ia selau menjadi yang terbaik. Karena itu ia bisa memilih sekolah favorit lanjutan.
Pilihannya pun jatuh pada Pendidikan Guru Agama Negeri dengan masa studi 6 tahun dengan sistem Tunjangan Ikatan Dinas (TID).
Lulus dengan nilai terbaik ia mendapat beasiswa ke IAIN Alauddin Makasar. Namun hanya setahun ia berhenti.
Alasannya apa? Ia merasa semua ilmu yang ia terima dalam kulliah, pernah semua ia baca sebelum mahasiswa.
Tentu itu adalah satu kalimat yang benar-benar ia pikirkan. Karena setelah itu, Abdullah Said gemar melakukan pembacaan secara komprehensif, sebelum akhirnya membangun satu gerakan dakwah dan pendidikan Islam melalui Hidayatullah.
Sama seperti Habibie, Abdullah Said kecil sangat suka membaca. Kalau punya uang ia lebih memilih membeli buku. Semua beasiswa yang ia terima setiap bulan, tak ada sisa karena semua habis untuk membeli buku.
Bukan itu saja, Abdullah Said sangat senang wisata ke toko buku. Hatinya sedih kalau ada buku bagus dan menarik hatinya, tetapi ia tak mampu membelinya.
Kanak-Kanak Masa Emas
Bercermin dari kisah orang besar yang masa kanak-kanaknya gemar membaca buku, hal itulah yang mestinya kita bangun dalam diri, pasangan dan anak-anak.
Terlebih kondisi Indonesia belakangan ini sangat jauh dari daya baca yang memadai. Minat baca memang tinggi, tapi itu terbatas pada media sosial. Belum menghadirkan daya baca untuk melahap buku dan pengetahuan.
Baca Lagi: Jangan Terlalu Fokus Dunia
Kita mungkin maerasa apakah mungkin seperti itu?
Tetapi sejauh kita mau melangkah walau sederhana tapi konsisten, orang-orang besar dari Indonesia pada masa mendatang dapat kita siapkah kehadirannya dari sekarang, dari rumah dan komunitas kita. Insha Allah.*
Mas Imam Nawawi