Marah saat ini bisa dikatakan sedang menjadi warna dominan berita di Tanah Air. Jadi, marah mudah sekali dilampiaskan. Dua kejadian viral bisa dijadikan satu bukti akan hal tersebut.
Pertama, marahnya seorang menteri yang dengan lantang mengatakan akan memindahkan mereka ke tempat yang jauh dari ibukota.
Kedua, marahnya anggota Satpop PP di Gowa yang dikabarkan memukul seorang ibu hamil saat penertiban PPKM.
Kembali mari kita bertanya, mengapa marah itu mudah sekali dijadikan “solusi” dalam menghadapi realitas yang tak sesuai harapan?
Padahal, jelas tidak mungkin sikap yang mengantarkan orang pada neraka itu bisa memberikan solusi. Kata seorang pejabat, kalau memang marah itu bisa menyelesaikan masalah, perbanyaklah marah agar banyak persoalan bisa disolusikan.
Kerugian Marah
Marah secara empirik tidak disukai oleh orang lain, termasuk oleh pasangan atau pun anak di dalam sebuah keluarga. Oleh karena itu penting sekali memahami bahwa marah bukan solusi.
Secara fisik, marah dapat menjadi sebab tekanan darah tinggi. Saat orang marah, jantung akan bekerja ekstra, sehingga jantung memompa darah secara lebih kuat, akibatnya darah yan gmengalir lebih besar setiap detiknya.
Ketika seseorang marah, pembuluh darah juga akan kehilangan elastisitasnya dan berubah menjadi tegang lalu kaku. Itu artinya aliran darah yang dipompa oleh jantung tidak mendapati ruang yang semestinya mengembang dari pembuluh darah.
Baca Juga: Songsong Indonesia 2045 dengan Senang Ilmu
Puncaknya, orang yang senang sekali marah, akan potensial terkena serangan jantung. Sebuah temuan mencatatkan bahwa orang yang marah lebih dari 2 jam berisiko 8,5 kali lebih tinggi mengalami serangan jantung.
Secara langsung, marah juga mengundang stress karena mental dan emosi yang tertekan dan salah satu bagian saraf, yaitu hypotalamic pituitary menjadi hiperaktif.
Masih mau marah dan suka marah-marah?
Ketiadaan Visi
Orang yang mudah marah bisa dikatakan ia kehilangan atau mengalami yang namanya ketiadaan visi, sehingga respon dan sikap maksimalnya hanya bergantung pada apa harapan di kepalanya dan bagaimana realitas di depan matanya.
Ia tidak mampu menjangkau di luar apa yang tampak di depan mata, sehingga seluruh energinya terkuras untuk hal yang dianggapnya masalah di depan matanya disaat ia sedang marah.
Bukti sejarah mudah, kita tinggal melihat bagaimana sikap Nabi Muhammad SAW kala ditolak dakwahnya oleh penududk Thaif.
Perilaku buruk mereka yang tak hanya menolak tetapi menyakiti hati dan fisik Rasulullah SAW sangat pantas direspon dengan sikap yang lebih tegas.
Tetapi, kala Malaikat datang menawarkan bantuan dan menyampaikan tawaran bagaimana kalau gunung yang ada disitu dibalik saja untuk membunuh semua penduduk Thaif, Rasulullah melarang.
Jawaban beliau sangat dahsyat dari sisi pemikiran. “Jangan, kelak saya berharap kalau tidak dari mereka ini, anak-anak dan keturunan mereka yang menerima Islam.”
Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin mengutip ungkapan Wahab bin Munabbih tentang hikmah keluarga Nabi Daud alayhissalam.
“Kewajiban atas orang yang berakal adalah bahwa ia mengetahui zamannya, menjaga lidahnya, dan menghadapi urusannya.”
Idealnya
Sekarang adalah zaman wabah, pemerintah membuat kebijakan rakyat harus mengikuti. Kalau ada rakyat tidak mengikuti berarti ada tiga kemungkinan.
Satu, tidak tahu. Dua, tidak paham. Tiga, terpaksa menabrak aturan karena butuh makan.
Pembuat kebijakan yang berpikir akan memiliki alternatif kebijakan pada mereka yang secara langsung terdampak bahkan terancam tidak makan karena sebuah kebijakan ini.
Langkah itu pasti disiapkan, karena konstitusi menghendaki negara ini hadir untuk dapat melindungi segenap tumpah darah rakyat Indonesia. Logis bukan?
Jika kebijakan belum ada, maka pikirkan sendiri kalau tidak mau melibatkan banyak pihak untuk bersama-sama menemukan solusi.
Baca Terus: Pemuda Islam Menguasai Data
Catatannya jelas, jangan ada rakyat mati kelaparan karena sebuah kebijakan. Idealnya ini yang menjadi landasan dari setiap kebijakan yang ada, sehingga ukuran rakyat patuh atau tidak bukan pada kasus-kasus tertentu, tetapi lebih pada tegak tidaknya amanah sekaligus nafas dari konstitusi itu sendiri.
Kalau kesadaran yang ada di dalam diri sebagian besar pemimpin negeri ini hadir, maka tidak perlu bangsa ini buang-buang waktu untuk hal yang tidak perlu, apalagi hanya mengupas kemarahan seseorang.*