Akhir pekan lalu saya dengan beberapa teman mentadabburi ayat ke-40 Surah Ali Imran. Kesimpulannya, Tuhan penentu segala sesuatu. Oleh karena itu manusia jangan terlalu sibuk menghitung-hitung sampai lupa kekuatan iman dalam dada.
Rolf Dobelli dalam buku “The Art of The Good Life” menulis bahwa kalau ingin bahagia, kurangi beban pikiran yang memenuhi otak dan hati diri sendiri.
Sama seperti seorang remaja dengan berat badan 45 Kg kemudian memaksa mengangkat batu seberat 100 Kg. Jika memaksa, maka remaja itu akan cedera atau bahkan lebih buruk lagi kondisinya.
Beban pikiran itu bisa keseriusan seseorang dengan hitung-hitungannya akan masa depan sampai lupa bahwa nafasnya pun ada di tangan Tuhan.
Ketika itu terjadi dan perhitungannya meleset potensi ia akan stres dan cemas sangat tinggi. Karena ia mengira semua bisa sesuai skenario kepalanya. Dampaknya jelas, beban pikiran akan merembet pada gangguan mental.
Baca Juga: Aktualisasi Diri, Budak Pun Bisa!
Lalu apakah ini berarti sebagai manusia kita tidak perlu melakukan apa-apa bahkan sebuah perencanaan sekalipun?
Lakukan
Logika yang hendak kita hadirkan bukan demikian (manusia tidak perlu melakukan apa pun). Berencana, menghitung, menyiapkan adalah “kewajiban” manusia sebagai ikhtiar. Akan tetapi jangan sampai melupakan aspek iman, karena dunia ini ada dalam genggaman Allah Ta’ala.
Soal urusan dunia, Rasulullah SAW memberikan batasan yang tegas. “Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.” (HR. Muslim).
Artinya segala hal yang memungkinkan kesuksesan bisa kita raih, maka lakukan. Tidak boleh bersikap rusak, atas nama iman lalu tidak melakukan apa-apa. Itu bukan nilai dasar ajaran Islam.
Islam itu mendorong kita berpikir keras, bekerja keras dan beribadah keras. Itu logika yang terus Ustadz Abdullah Said hembuskan ke dalam sistem kesadaran para kader-kadernya. Artinya lakukan semua sisi dengan kesungguhan terbaik.
Tawakkal
Meski demikian, kita tidak boleh bersandar pada rencana, hitungan atau pun kekuatan bahkan pengalaman sukses. Sekali lagi karena dunia ini terserah Allah. Yang akan terjadi dalam kehidupan dunia ini hanyalah yang Allah kehendaki.
Baca Lagi: Diskusi Ilmu Bisa dengan Bincang Ringan Bareng Teman
Nah, dasar berpikir itulah yang jadi sikap mental Nabi Zakaria. Ia Nabi yang tak pernah kecewa berdoa kepada Allah. Permintaannya satu memohon diberikan keturunan untuk meneruskan risalah dakwah.
Waktu terus bergulir sampai waktu Nabi Zakaria menua, rambutnya memutih, tulangnya lemah. Tidak itu saja, kondisi istrinya juga mandul.
Akan tetapi dalam situasi dan kondisi seperti itu, Malaikat utusan Allah mendatangi Zakaria mengabarkan bahwa Allah akan memberikannya keturunan seorang putra bernama Yahya.
Dan, seperti kita ketahui bersama, meski Zakaria itu Nabi, sisi yang sama ia juga manusia. Maka muncullah pertanyaan kepada Allah, bagaimana hal itu bisa terjadi.
Zakaria berkata: “Ya Tuhanku, bagaimana aku bisa mendapat anak sedang aku telah sangat tua dan istriku pun seorang yang mandul?”. Berfirman Allah: “Demikianlah, Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya”. (QS. Ali Imran: 40).
Pendek kata, Nabi Zakaria memiliki putra.
Dan, ayat tersebut memberikan kita satu pemahaman bahwa Allah Maha Berkehendak. Jika Allah menghendaki sesuatu terjadi, pasti jadi. Karena Allah pemilik alam ini. Allah bisa menghadirkan hal-hal yang ajaib lagi bertentangan dengan kebiasaan dan cara berpikir manusia.
Dengan demikian sikap mental yang harus kita bangun adalah tawakkal, bersandar, berharap sepenuh hati kepada Allah. Manakala ada orang bersandar kepada orang lain, kepada harta, kepada kekuasaan, kepada jabatan, maka siap-siap kecewa, menderita bahkan putus asa.*