Kita semua rasanya sepakat bahwa hidup manusia semakin modern. Namun perilaku buruk yang manusia dahulu lakukan (mencuri, korupsi, menipu, dll), masih tetap ada sampai pada era sekarang. Berbagai upaya hukum dan pendekatan teknologi melalui transparansi ternyata tak benar-benar mampu menjadikan manusia yang punya kuasa bisa belajar. Dalam konteks ini kita memerlukan kembali kesadaran tentang manusia dalam pandangan Islam.
Sebelum ke pembahasan, saya menemukan satu berita bahwa ada 3 orang dengan gelar pendidikan doktor, aktif sebagai dosen. Kemudian ketiganya diduga terlibat korupsi proyek kakao fiktif senilai Rp7,4 Miliar. Jika yang punya gelar pendidikan tinggi telah kehilangan “menara kesadaran” dalam jiwanya, apa yang bisa kita harapkan dari keadaan saat ini.
Manusia dari Segumpal Darah
Namun, tak ada istilah putus asa yang bisa masuk dalam kesadaran kita. Kita perlu mengajak semua orang menyadari kembali siapa sebenarnya hakikat kita sebagai manusia. Dalam Surah Al-‘Alaq ayat ke-2, manusia adalah makhluk yang Allah ciptakan dari segumpal darah.
Nasiruddin as-Syairazi al-Baidhawi dalam “Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil” menerangkan bahwa kata segumpal darah menunjukkan manusia Alah ciptakan dengan sangat sederhana (hina) dari segumpal darah. Ini agar manusia menyadari asalnya yang lemah. Kemudian mengetahui dan menyadari Allah adalah Maha Pencipta.
Kemudian kalau kita perhatikan Surah Al-Mu’minun ayat ke-12 hingga ayat ke-14 jelas sekali manusia Allah ciptakan lemah. Allah menciptakan manusia dari saripati tanah (mani dan ovum).
Pertanyaannya sederhana sekali, mengapa Allah menceritakan hal itu?
Tunduk kepada Allah
Secara rasional kita bisa menangkap bahwa manusia secara biologis sangatlah hina. Jadi untuk apa hidup sombong dan arogan?
Secara filosofis, kalau kita mau tarik sebuah pesan tentang ajaran hidup, maka Allah ingin kita sadar bahwa manusia itu lemah. Kalau sadar demikian, maka kita mudah untuk membebaskan jiwa dari sifat sombong. Hadirnya kita sebagai manusia menunjukkan Allah sebaik-baik pencipta. Lebih jauh semua itu agar kita sadar, bahwa semua kebaikan dan kemuliaan yang kita miliki, hakikatnya adalah karunia dari Allah.
Lalu apa puncak dari kesadaran itu? Sederhananya kalau manusia punya kekuatan rasional dan melalui pendidikan formal dengan baik, mestinya ia menjadi hamba Allah. Bukan menjadi hamba uang lalu memandang korupsi sebagai jalan baik.
Oleh karena itu Allah memerintahkan manusia selalu memelihara iman dalam dadanya. Kemudian rukuk, sujud dan beribadah kepada Allah, lalu melakukan hal-hal baik. Itulah jalan keberuntungan. Demikian termaktub dalam Surah Al-Hajj ayat ke-77.
Dalam kata yang lain tak ada jalan kebaikan dan kemenangan, apalagi keberuntungan, bagi siapapun yang gagal mengenali dirinya sebagai manusia dan menjauh dari Allah yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah.*


