Manusia kelas keledai ini merupakan ungkapan dari sosok tokoh dan ulama besar umat Islam, yakni Imam Syafi’i rahimahullah.
Ungkapannya dikutip oleh Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin pada Bab yang mengulas tentang Keewajiban dan Hak Persaudaraan Sesama Muslim.
Imam Syafi’i rahimahullahu berkata, “Orang yang dibuat marah lalu tidak marah, maka ia sama dengan keledai. Dan, orang yang keridhaannya diminta akan tetapi tidak memberikan, maka ia serupa dengan setan.”
Baca Juga: Jadilah Guru Sejati
Ungkapan tersebut bermakna bahwa di dalam interaksi sosial ada sikap yang pada waktunya harus ditegakkan. Di saat yang lain ada kesempatan pemaafan harus diberikan.
Bahkan jika ada orang pernah bersalah dan ia meminta maaf, Imam Ghazali mendorong agar kita memaafkan, terlepas orang yang minta maaf itu bersungguh-sungguh dalam meminta maaf atau pun berpura-pura.
Umar dan Abu Bakar
Umar bin Khathab pernah marah kepada Abu Bakar. Begini ceritanya.
Kala itu, menantu Umar, Khunais bin Hudzaifah As-Sahmi meninggal dunia, sehingga putrinya, Hafshah menjadi janda.
Sebagai ayah, Umar pun berusaha menikahkan putrinya itu dengan orang yang baik dan mulia. Umar pun mendatangi Utsman dan menyampaikan keperluannya. Namun, Utsman tidak memberi respon.
Umar sebenarnya sudah agak marah. Tetapi ia mampu menahan karena ia masih ada harapan kepada sosok Abu Bakar. Ternyata, Abu Bakar malah tidak memberikan jawaban apa-apa.
Umar pun mengaku marah kepada Abu Bakar kala menceritakan peristiwa itu kepada putranya, Abdullah bin Umar.
Namun, taqdir Allah lebih indah, Hafshah dilamar dan dinikahi oleh Rasulullah SAW. Tak terkira kebahagiaan Umar atas hal itu.
Setelah itu, Abu Bakar menemui Umar dan berkata. “Sepertinya engkau marah karena aku tidak memberikan jawaban apa-apa saat kau menawarkan Hafshah?”
“Ya, memang benar begitu,” jawab Umar.
Abu Bakar berkata, “Tidak ada sesuatu yang menghalangiku untuk menerima tawaranmu. Namun aku mendengar Rasulullah menyebut-nyebut Hafshah. Dan aku tidak mau membuka rahasia beliau. Seandainya beliau tidak mau menikahi Hafshah, niscaya aku akan menerimanya.”
Umar radhiyallahu anhu pun paham dan sejak itu sirnalah kemarahannya kepada sang sahabat Nabi itu, Abu Bakar Ash-Shiddiq. Umar bahkan sangat kagum kepada Abu Bakar.
Sewajarnya
Jadi, marah itu adalah bagian dari diri manusia. Tak ada manusia yang bisa bebas dari marah. Namun, Islam memberikan bimbingan jelas.
Jangan sampai marah berlebihan, sehingga rusak segala kebaikan di dalam kehidupan. Mulai dari persahabatan hingga persaudaraan.
Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali mengutip hadits Nabi SAW. “Orang mukmin adalah orang yang bisa saja marah, namun cepat pula memaafkan.”
Baca Lagi: Apa Gunanya Bahas Taliban?
Hal ini menandakan bahwa sikap terbaik di dalam pergaulan adalah tetap di dalam iman, persaudaraan dan persahabatan. Jangan karena atas nama persahabatan, iman dikorbankan. Jangan atas nama persaudaraan, kecurangan tidak diperingatkan, tidak ada kemarahan.
Sebab pada dasarnya, apa pun itu, ujung dan pangkalnya harus pada terjaganya iman, utamanya dalam hal pergaulan, persaudaraan dan persahabatan. Allahu a’lam.*