Home Kajian Utama Malu Kepada Buya Hamka, Mengapa Kita Tidak Menulis
Malu Kepada Buya Hamka, Mengapa Kita Tidak Menulis

Malu Kepada Buya Hamka, Mengapa Kita Tidak Menulis

by Imam Nawawi

Kalimat “malu kepada Buya Hamka” terlahir dari lisan Ustadz Abdul Somad (UAS) usai menonton film “Buya Hamka” di bioskop.

Beliau mengatakan bahwa kala itu belum ada www.google.com.

“Zaman itu belum ada Facebook, Twitter. Zaman itu belum ada Youtube. Tapi Buya Hamka berkarya dengan mesin tiknya. Mesin ketiknya diambil oleh Jepang. (Namun) Dia tidak berhenti menulis,” urai UAS.

Baca Juga: Film Buya Hamka Benar-Benar Kaya

Sebuah kesadaran dan ketekunan luar biasa yang Buya Hamka tempuh dalam memperjuangkan Islam dengan senjata “pena.”

“Jadi kalau hari ini kita dengan ada laptop kita sudah, bahkan tidak menulis sama sekali. Tinggal ngomong langsung, tulisannya muncul, tinggal diedit. (Lalu masih) tidak berkarya. Maka setelah menonton film ini, amat sangat malu dengan Buya Hamka. Mengapa kita tidak menulis,” tegasnya.

Kegigihan

Menulis memang satu kemampuan yang butuh kesadaran sekaligus kegigihan.

Sekadar sadar menulis itu baik, bahkan penting, hampir semua orang memahami. Tetapi mengapa orang tidak melakukan, ini soal kegigihan.

Kegigihan sendiri akan muncul kalau ada kekuatan niat. Niat yang jangka pendek, akan membuat orang angin-anginan menulis.

Tetapi niat untuk menolong agama Allah, minimal niat mensyukuri waktu dan kesehatan dengan kebaikan, maka menulis adalah satu pilihan hidup yang mudah untuk kita tekuni.

“Menulis di media massa (surat kabar, jurnalisme publik, majalah, buletin, dsb) sejatinya memang bukan untuk alasan prestasi dan prestise. Tetapi lebih dilandasi oleh kemauan dan kesadaran untuk mengabdi kepada masyarakat.”

Demikian pandangan dari Mohammad Imam Farisi Dosen FKIP Universitas Terbuka kala menyoroti mengapa banyak dosen enggan menulis di media massa.

Bagi masyarakat umum, menulis adalah tentang idealisme. Tidak akan lahir kegigihan kalau tidak ada idealisme.

Apalagi era seperti sekarang, orang lebih suka melihat video daripada membaca. Sebagian ada yang berkata, “Tidak ada gunanya menulis sekarang. Memang siapa yang membaca.”

Begitulah pikiran sebagian orang yang kalau seorang penulis tidak memperluas sudut pandangnya maka akan tergilas hanya karena sebuah kalimat yang tidak ada makna seperti itu.

Berniatlah menulis, lakukanlah semampu diri, niatkan untuk syiar kebaikan. Sungguh keuntungan orang yang suka menulis, ia butuh menjalankan perintah Allah, yakni tekun membaca (Iqra). Lengkapnya Iqra Bismirabbik.

Ulama Terdahulu

Kalau kepada kisah Buya Hamka menulis saja kita sudah sangat jauh jarak idealisme dan kesadaran serta kegigihannya. Lalu bagaimana dengan ulama terdahulu?

Baca Lagi: Cara Buya Hamka Membangun Jiwa Besar

Seperti Imam Syafi’i, Imam Bukhari, Imam Ghazali. Kala itu bukan sebatas tidak ada Google. Tetapi juga tidak ada mesin ketik dan kertas.

Sedangkan karya tulis ulama-ulama itu terus menerangi diskusi manusia sampai sekarang. Karyanya terus dicetak.

Kalau misalnya kala itu ada royalti, maka berapa kekayaan yang akan diperoleh oleh ulama-ulama besar itu, yang kitabnya tak berhenti terbit.

Tetapi, apakah itu motivasi dasar mereka menulis kitab?*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment