Mas Imam Nawawi

- Kisah

Mahasiswa, Membacalah untuk Memahami Indonesia dan Membangun Kapasitas Diri

Pagi yang hangat, saya berdiri di hadapan puluhan mahasiswa yang berhimpun dalam aula STIE Hidayatullah Depok (27/9/25). Mereka adalah bagian dari Gerakan Mahasiswa Hidayatullah (GMH) yang sedang menggelar Dialog Kebangsaan. Saya melihat mata-mata berbinar penuh semangat. Tapi saya tahu, semangat saja tidak cukup. Dibutuhkan fondasi yang kuat, dan fondasi itu adalah budaya membaca. Bukan sekadar […]

Mahasiswa, Membacalah untuk Memahami Indonesia dan Membangun Kapasitas Diri

Pagi yang hangat, saya berdiri di hadapan puluhan mahasiswa yang berhimpun dalam aula STIE Hidayatullah Depok (27/9/25). Mereka adalah bagian dari Gerakan Mahasiswa Hidayatullah (GMH) yang sedang menggelar Dialog Kebangsaan. Saya melihat mata-mata berbinar penuh semangat.

Tapi saya tahu, semangat saja tidak cukup. Dibutuhkan fondasi yang kuat, dan fondasi itu adalah budaya membaca. Bukan sekadar mengeja huruf, tapi membaca secara aktif untuk memahami dan berpikir.

Membaca sebagai Jalan Menemukan Gagasan

Saya mulai dengan sebuah pertanyaan sederhana. Kenapa kita butuh Indonesia? Kenapa para pendahulu kita berjuang mati-matian?

Jika mereka pragmatis, menjadi pegawai Belanda jauh lebih nyaman. Tapi mereka tidak memilih jalan itu.

Saya ajak mereka melihat dua sosok: Bung Karno dan Bung Hatta.

Mereka adalah pemilik cita-cita luhur. Mereka membaca. Membaca pemikiran, membaca sejarah, dan membaca realitas bangsa.

Dari membaca itulah mereka menemukan jalan pikiran. Mereka tidak hanya melihat tulisan, tetapi juga menelusuri gagasan di baliknya.

Saya teringat kisah Boven Digul, tempat Bung Hatta diasingkan. Lokasinya sangat terpencil. Bahkan pada 2017, jalannya masih sulit. Saya dahulu ke Digul dengan menggunakan kuda besi. Bersama 5 dai lainnya saya berangkat dari Kelapa Lima Merauke pada pukul 09:00 WIT tiba pukul 23:00 WIT.

Bayangkan bagaimana keadaannya puluhan tahun lalu. Namun, di pengasingan yang sunyi itu, Bung Hatta tidak berhenti membaca. Dia justru semakin tekun merawat pikirannya.

Kata-katanya yang terkenal, “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas”.

Saat ini banyak mahasiswa hidup dalam kebebasan tapi merasa terpenjara kalau membaca buku. Semakin sering scrolling semakin merasa bebas. Padahal itu malah menyerahkan diri pada penjajahan gaya baru; tunduk pada mekanisme algoritma. Alhasil banyak mahasiswa kehilangan kemampuan berpikir kritis.

Mahasiswa Progresif Adalah Pembaca Aktif

Mahasiswa seharusnya menjadi agen perubahan. Untuk menjadi agen perubahan, kita harus membangun kapasitas diri. Caranya adalah dengan membaca.

Membaca adalah modal dasar untuk mampu berkomunikasi dengan baik. Orang yang memiliki kemampuan bahasa tinggi akan sangat mudah mencapai tujuan komunikasi. Sebaliknya orang yang rendah skill berbahasanya akan mudah mengalami miskonsepsi dalam komunikasi.

Membaca sejatinya adalah kegiatan berpikir dengan memahami teks atau konteks, tersurat atau tersirat.

Atas dasar itu, maka kita perlu membaca Indonesia. Kita harus melihat latar belakang mengapa bangsa ini butuh merdeka dan butuh sebuah negara. Tujuannya jelas: untuk bisa setara dengan bangsa lain. Dengan begitu Indonesia bisa menjadi bangsa yang mandiri, berdiri di atas kaki sendiri, bahkan ikut serta mewujudkan perdamaian dunia.

Kita perlu belajar dari para pendahulu kita yang tidak memilih jalan instan. Mereka memilih jalan yang berliku, yang menuntut pengorbanan, karena mereka membaca bahwa kemerdekaan adalah harga mati.

Ketekunan Membentuk Perubahan

Jika air yang menetes terus-menerus bisa melubangi batu yang keras, maka ketekunan dalam membaca juga bisa melubangi bahkan menghilangkan kebodohan.

Membaca bukan sekadar mengisi waktu luang, tetapi membentuk cara berpikir. Membentuk mental yang tahan banting, seperti para pejuang kemerdekaan.

Jadi, jangan pernah lelah membaca. Pahami bahwa membaca adalah pintu gerbang menuju pemahaman yang lebih dalam, yang akan membuatmu menjadi mahasiswa progresif yang tidak hanya pintar, tetapi juga memberikan dampak positif bagi sesama.

Semakin sering dan teratur seorang mahasiswa membaca, maka kemampuan membacanya akan terus meningkat. Alhasil ia akan semakin kritis dan progresif dalam membangun kapasitas diri. Terampil berpikir selamat dari pandir.*

Mas Imam Nawawi