Refan telah berulang kali meminta kepada atasannya untuk dapat kiriman tenaga baru. Keputusan itu ia nanti agar beban kerja yang diembannya bisa lebih ringan dan ia bisa lebih cepat mencapainya. Namun, bulan purnama berlalu lebih dari empat kali, sang atasan tak memberikan jawaban. Menyadari itu, Refan pun memilih berhenti. Sang atasan dengan santai berkata, “Ternyata Anda tidak loyal”.
Sikap atasan Refan yang menuduh “tidak loyal” saat Refan memutuskan berhenti adalah cerminan dari kegagalan kepemimpinan.
Loyalitas bukanlah kepatuhan buta, melainkan hasil dari hubungan saling menghargai dan dukungan dua arah.
Ketika seorang karyawan berulang kali menyampaikan kebutuhan akan bantuan untuk meringankan beban kerjanya, dan atasan mengabaikannya selama berbulan-bulan, ini menunjukkan ketidakpedulian terhadap kesejahteraan dan produktivitas karyawan.
Atasan seharusnya proaktif dalam memahami aspirasi dan tantangan yang dihadapi timnya, bukan hanya menunggu hingga masalah memuncak dan karyawan memilih untuk pergi.
Loyalitas Hasil dari Tanggung Jawab
Tuduhan “tidak loyal” adalah upaya atasan untuk mengalihkan tanggung jawab atas kegagalannya sendiri dalam memenuhi kebutuhan tim.
Alih-alih merenungkan mengapa Refan merasa perlu berhenti—yaitu karena beban kerja yang berlebihan dan kurangnya dukungan—atasan justru memilih menyalahkan karyawan.
Ini adalah pola pikir yang merugikan, karena atasan tidak belajar dari kesalahannya dan kemungkinan akan mengulanginya dengan karyawan lain di masa depan.
Atasan yang efektif akan melihat keputusan Refan sebagai indikasi bahwa ada sesuatu yang salah dalam manajemennya dan akan berusaha memperbaikinya, bukan justru melabeli karyawan yang berani mengambil sikap tegas sebagai tidak loyal.
Akar Masalah
Secara langsung kita dapat menilai bahwa atasan Refan gagal dalam memahami aspirasi bawahannya karena ia hanya mendengarkan. Namun tidak memahami.
“Mendengarkan itu berarti hanya menangkap vibrasi suara. Sedangkan memahami berarti mendengarkan dan memikirkan apa yang didengar.”
Dalam kasus Refan, atasannya mungkin mendengar permintaannya berulang kali untuk tambahan tenaga, tetapi pikirannya tampaknya mengembara ke tempat lain, tidak mencurahkan perhatian untuk menafsirkan secara akurat apa yang sebenarnya Refan komunikasikan.
Ini adalah bentuk passive listening, di mana atasan hanya berfungsi sebagai perekam suara, mencatat informasi tanpa benar-benar mencoba menyelami perspektif Refan mengenai beban kerja yang memberatkan dan tujuannya untuk bekerja lebih cepat.
Akibatnya, ketika Refan mengambil sikap tegas karena kebutuhannya tidak terpenuhi, atasan tersebut justru melemparkan tuduhan tidak loyal, padahal ia sendiri yang gagal dalam perannya untuk memahami dan merespons kebutuhan karyawannya.
Loyalitas Bersumber dari Kepemimpinan yang Adil
Lantas apa yang perlu? Agar ke depan para pemimpin dapat lebih adil dan efektif. Utamanya dalam memahami orang lain, terutama bawahan. Maka praktik active listening menjadi kunci.
Untuk memahami kita perlu mencurahkan perhatian. Selanjutnya membuat penafsiran secara akurat sesuai dengan apa yang pihak lain katakan.
Ini berarti pemimpin harus “masuk” ke dalam benak si pembicara, dalam hal ini Refan, dengan sebaik mungkin. Dengan begtiu komunikasi tersebut dapat tertangkap dengan baik dari sudut pandangnya.
Alih-alih sekadar mencatat keluhan, pemimpin harus menggali lebih dalam. Lebih jauh mampu mengajukan pertanyaan klarifikasi, dan menunjukkan empati terhadap tekanan yang menginjak bawahan.
Dengan active listening, pemimpin dapat mengidentifikasi akar masalah. Bahkan akan mampu memahami motivasi dari latar permintaan bawahan, dan kemudian mengambil tindakan konkret untuk memberikan solusi.
Hanya dengan demikian, hubungan antara atasan dan bawahan dapat terbangun dengan baik. Berdiri atas dasar saling pengertian dan kepercayaan. Kondisi itu akan mendorong lingkungan kerja yang lebih produktif dan adil.*