Home Opini Longsor Hebat Etika Pejabat
Longsor Etika Pejabat

Longsor Hebat Etika Pejabat

by Imam Nawawi

Sebenarnya tidak begitu menarik mengulas soal etika pejabat publik yang sedang longsor hebat. Semua orang sudah tahu, memang begitu. Tetapi, Kompas hari ini (Kamis, 9 Maret 2023) semua naskah opini menyorot soal etika pejabat, yang sekali lagi, sedang longsor hebat.

Gambarannya ada pada judul-judul opini di Kompas. Mulai “Pejabat Harus Bayar Pajak” kemudian “Etika Pejabat Publik di Era Media Sosial” dan “Menyingkap Kekayaan Gelap Pejabat.”

Kembali pada kata longsor, etika yang ambruk itu bukan saja menyebabkan kerusakan, tetapi juga mengganggu arus pembangunan bangsa dan negara. Indonesia geger soal longsor etika pejabat ini.

Baca Juga: Moral yang Tertinggal dan Ditinggal

Dalam ruang realitas, ketika ada tanah longsor menutup jalan, butuh alat berat untuk menanggulangi. Lalu bagaimana kalau etika pejabat yang longsor dimana-mana dan menutup nurani serta akal sehat?

Wajar kalau Menkeu Sri Mulyani maju berhadap-hadapan dengan publik soal orang mulai ragu membayar pajak. Belakangan ia mempertanyakan ucapan Mahfud MD soal transaksi janggal senilai Rp. 300 T. “Dari mana angkanya,” tanya Mbak Sri yang ramai media kutip.

Belakangan Sri Mulyani memang tampak seperti geram. Bahkan kalau benar rakyat tidak mau membayar pajak, ia “mengancam” dengan kemungkinan harga BBM yang akan naik sebanyak 3 kali lipat.

Hal ini berarti, ulah pejabat yang sedemikian brutal itu telah menjadi beban pemerintah dengan sangat serius bahkan luar biasa. Kini, kalau pemerintah salah langkah, boleh jadi distrust rakyat akan terus menguat.

Momentum

Meski demikian kalau pemerintah mau sadar kejadian longsornya etika pejabat ini adalah momentum terbaik untuk melakukan satu perubahan fundamental, membangun kembali etika publik dan integritas. Begitu pendapat Gatot Subroto (Kompas, 9/3/23).

Lebih jauh pemerintah juga bisa berterimakasih kepada publik yang tertarik memberi komentar bahkan kritik atas berbagai kasus dan kinerja pemerintah sendiri yang kurang perform.

Sebab diakui atau tidak, kasus ini melebar dan menjadi perbincangan semua kalangan tidak lepas dari kontribusi warganet yang “cerewet” memperbincangkan longsor etika pejabat ini.

Secara prinsip, ini adalah momentum pemerintah memulai langkah baru untuk pembangunan.

Jangan malah khawatir secara keliru dengan merespon kritik publik sebagai ancaman, tapi harus kita pandang sebagai cinta dan kasih untuk negeri ini.

Memahami Etika

Etika berbeda dengan akhlak. Secara bahasa etika berasal dari bahasa Yunani yang artinya kumpulan nilai, norma dan prinsip dalam menentukan perilaku baik, benar atau tidak dalam kehidupan masyarakat.

Jadi, ketika ada kata “etika yang longsor” maksudnya adalah norma dan nilai kebaikan tergerus hebat oleh keburukan. Entah “kebodohan”, keserakahan ataupun kejahatan.

Kalau melihat Eropa, etika itu berupa nilai-nilai kebebasan, kesetaraan, keadilan, solidaritas, toleransi dan penghormatan pada hak asasi manusia. Namun, Eropa memiliki etika yang tinggi.

Baca Lagi: Hadirkan Kecerdasan Ekstra

Begitu seorang pejabat merasa publik menolaknya karena faktor etika apalagi sampai ada tekanan politik, maka sebelum itu membesar, pejabat bersangkutan akan mengundurkan diri. Sadar dirinya tak lagi pantas dan memang tidak lagi mendapat kepercayaan publik.

Lebih-lebih kalau ada pelanggaran etika berupa skandal, tanpa diminta, pejabat yang bersangkutan akan segera mengundurkan diri.

Nah, Indonesia ini adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Dalam Islam itu ada konsep yang lebih tinggi dari etika, yaitu akhlak.  Sederhananya akhlak berperilaku dengan kehendak sang Khaliq (ketentuan Allah). Namun, mengapa justru itu gagal memagari etika yang seharusnya kuat karena ada iman dalam dada?*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment