Literasi data, apakah ini hal utama untuk kita perhatikan? Sekilas kita bisa katakan, senjata paling ampuh dari masa ke masa adalah data. Jadi, literasi data itu sangat kita perlukan.
Belakangan kita bertemu dengan satu fakta bahwa data adalah perkara utama.
Dalam sharing session dengan pakar IT di Detos belum lama ini, banyak investor tidak ragu menggelontorkan miliaran rupiah untuk investasi ke sebuah startup dengan catatan perusahaan itu dapat menghimpun data.
Orang sekarang juga menyebut data is the new oil, bahkan mungkin new gold.
Seth Stephens-Davidowitz (ahli data, ekonom dan penulis Amerika) dalam bukunya “Everybody Lies” menerangkan hal yang sama. “Investor memberi perusahaan-perusahaan rintisan puluhan juta dolar jika mereka mampu menghimpun data lebih banyak.”
Flip
Flip, aplikasi transfer gratis (mungkin kita penggunanya) setiap bulannya bisa mengumpulkan Rp. 3 triliun.
Kalau ada yang bertanya, bagaimana itu bisa Flip capai, jawabannya jelas, yaitu data. Lebih tepatnya mampu menghimpun, menguasai dan memaksimalkan data.
Google Trends
Kembali ke Seth Stephens-Davidowitz, ia membaca data dari sumber yang kita kenal semua, yakni Google Trends, serta Wikipedia dan Facebook. Hasil pengamatan mendalam dan cara membaca data dengan valid, membuatnya mampu memberikan wawasan dunia digital kepada kita.
Melalui data digital itu Seth memahami bahwa ada banyak data menarik yang tak masyarakat ungkap atau akui secara terbuka di ruang nyata, tapi mereka telusuri dengan mendalam di dunia maya.
Dan, kalau kita telusuri siapa pemilik nama Seth Isaac Stephens-Davidowitz faktanya akan membuat sebagian kita menolak, karena ia keturunan Yahudi. Tetapi yang perlu kita garisbawahi, mengapa ia yang menerapkan upaya membaca secara mendalam dan menulis dengan sangat menarik? Kemana kita selama ini?
Apa itu Data?
Tahukah kita data itu apa? Pertanyaan teknis, tapi perlu kita ajukan agar benar-benar paham. Data adalah hasil mencacah, membagi-bagi, mengelompokkan, mengklasifikasikan dan lainnya atau pengukuran dari suatu objek.
Data bisa juga kumpulan datum. Datum adalah keterangan yang orang peroleh dari suatu pengamatan, penelitian, pendalaman, yang itu dapat berupa angka, lambang atau sifat. Itulah makna data dalam buku “Mengenal Lebih Dalam Tentang Data” karya Marwoto (2020).
Dan, kalau mau tahu dahsyatnya data, saat dunia belum mengenal internet adalah ketika Belanda datang ke Jawa. Seorang sahabat yang senang dengan dunia riset memberikan sebuah uraian ringkas soal itu.
Bahwa Belanda tak ujug-ujug bawa bedil dan bilang, aku menjajah kalian.
Tapi mereka mengamati perilaku masyarakat Jawa. Belanda mencari tahu siapa pemimpinnya, sukanya apa, bisa berkumpul dan bertemu jam berapa.
Begitu mereka memiliki data yang lengkap, langkah menguasai tanah Jawa segera Belanda wujudkan.
Hari ini “kisruh” kebocoran data menjadi tema utama perbincangan netizen, terutama di Eropa dan Amerika.
Lalu bagaimana Indonesia? Tampaknya tidak masalah, baik-baik saja, karena rata-rata belum menyadari bahwa data itu mahal.
Nanti heboh kalau rekeningnya jebol, media sosialnya dihack, baru sedikit mengerti, inilah pentingnya perlindungan data.
Media sempat mengabarkan, bahwa dua kebocoran data besar terjadi. Pertama, kebocoran 34 juta data paspor di blog yang diklaim milik pembocor data Bjorka. Data-data itu dijual senilai US$10 ribu (Rp150 jutaan) dengan sampel yang terkompres sebesar 1 GB.
Kedua, kebocoran 337 juta data warga di Direktorat Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) di forum hacker. Tapi setelah membaca ini, apakah kita sudah aware dengan data?
Terlambat?
Pertanyaannya kemudian apakah kita terlambat menyadari satu hal penting ini?
Saya kira sadar itu poin penting untuk berubah, menjadi lebih tercerahkan sehingga mampu mencerahkan dan memberdayakan. Itu artinya kapan kita sadar, segera melangkah, mulai membentuk karakter diri yang baru. Jangan terlalu larut dalam perdebatan terlambat atau tidak.
Jika ada hal yang harus segera kita lakukan dalam diri maka itu adalah bagaimana menyadari membaca itu utama.
Baca Juga: Tuhan Begitu Mesra dengan Kita
Membaca itu utama karena itu akar dari lahirnya ide-ide inovatif dan mendorong kreativitas. Betapa hebat bukan saat kita membaca Alquran, perintah pertama yang Tuhan tekankan adalah tentang membaca.
Bagaimana praktik membaca ini jadi budaya? Di rumah Arqam-lah hal itu dimanifestasikan. Nabi hadir sebagai pencerah lalu sahabat berhimpun menyimak paparan demi paparan Nabi SAW. Lahirlah sahabat-sahabat yang cerdas, brilian dan militan.
Di Athena, Yunani Kuno juga berlangsung aktivitas “membaca” yang kuat. Eric Weiner dalam bukunya “The Geography of Genius” menjelaskan bahwa orang-orang Yunani jadi hebat secara pemikiran dan kebijaksanaan tentang hidup, bukan karena mereka orang-orang yang IQ-nya luar biasa. Mereka bahkan orang biasa, tapi mereka mampu menghadirkan ide dan hal-hal besar bagi dunia.
Kita pun bisa, kata Eric Weiner. “Kreativitas adalah respons terhadap lingkungan kita,” tegasnya.
Jadi, kalau kita peduli pada bangsa ini, ingin mengubah wajah negeri ini, kita tak cukup hanya teriak demonstrasi (walaupun demonstrasi tetap perlu pada kondisi tertentu).
Kita hanya perlu mengasihi diri sendiri, sudahkah senang membaca, sudahkah bacaan kita itu menggerakkan dan memberdayakan, bahkan menghasilkan kemanfaatan bagi sesama?
Lebih teknis, sudahkah kita bisa membaca data, menghimpunnya dan menjadikannya sebagai kekuatan untuk maju terus dalam kebaikan?
Belajar dari Bung Hatta
Sekarang orang heboh membicarakan gelar-gelar akademik yang begitu murah diobral. Ingin mengakhiri itu, Rektor UII bahkan menegaskan gelar akademiknya tak perlu dicantumkan dan meminta orang memanggil dia cukup dengan sapaan Pak, Mas atau lainnya.
Baca Lagi: Bacalah dan Temukan Solusi!
Fakta itu akan sangat baik kalau dapat mendorong kita menjernihkan pikiran, untuk apa saya belajar, membaca, kuliah dan lain sebagainya.
Menjawab itu juga tidak sulit, syaratnya mau membaca, termasuk riwayat hidup Bung Hatta.
Bung Hatta itu belajar ke Belanda hingga 11 tahun. Tapi ia melakukan itu bukan untuk jadi budak penjajah.
Bung Hatta menempuh jalur pendidikan di Belanda adalah dalam rangka mempersiapkan diri menjadi pemimpin kalau bangsa Indonesia meraih kemerdekaannya.
Terbukti, Indonesia merdeka, Bung Hatta adalah proklamatornya dengan sederet warisan penting bagi negeri ini, terutama sistem koperasi dan Pasal 33 UUD 1945.
Pendek kata, kalau kita sering ketemu, mempertukarkan hasil bacaan, amatan, dan penghimpunan data, entah di cafe, di bawah pohon, atau di garasi, bukan tidak mungkin dari sanalah percikan api literasi bangsa ini akan menyala dan akhirnya menerangi semua.
Sesuatu yang baik selamanya akan jadi harapan, kecuali ada yang bergerak maju, menjadikannya ada dengan tindakan yang sinergis dan kolaboratif secara simultan. Mulailah dan lihatlah keajaiban!*