Berapa banyak orang tua berharap anak bahagia dengan limpahan materi, jaminan masa depan dan segala jenis kenyamanan lainnya? Sekarang, jangankan orang tua dari barisan rakyat biasa, sekelas pejabat tinggi bahkan sampai level presiden pun tampak sangat takut akan masa depan dari anaknya. Mengapa?
Problem seperti itu bukan saja melanda banyak orang tua di Indonesia, tetapi juga di Jerman.
Biaya hidup menanjak, bahkan harga sewa kos saja melambung tak terkendali. Hal ini membuat sebagian orang memiliki kesimpulan bahwa situasi itu yang menjadi alasan mengapa orang ogah menikah.
Dalam tantangan yang seperti itu, cara berpikir egois sepertinya adalah solusi.
Dan, itu sudah masyarakat Jepang, Jerman, bahkan Singapura lakukan. Hasilnya depresi terjadi dimana-mana.
DW melaporkan bahwa hampir 1 dari 10 orang di Jerman menunjukkan gejala depresi. Begitulah hasil riset Robert Koch Institut (2019).
Sebagian mereka merasa hidup tidak lagi berharga, tertekan oleh rasa bersalah yang berlebihan atau tidak pantas.
Mereka bahkan mengalami penurunan kemampuan berpikir, berkonsentrasi, serta mengalami penurunan minat melakukan sesuatu.
Baca Lagi: Lanjutkan Kegemaran Baikmu!
Dan, catatan pentingnya, depresi itu begitu menggejala di kalangan muda. Ini menurut studi di Jerman antara November 2014 – Juli 2015 dengan keterlibatan 25.000 orang berusia di atas 15 tahun.
Solidaritas
Berdasarkan secuil fakta itu, kita dapat meneropong bahwa individualisme atau egoisme hanya akan membuat orang semakin terputus dari dimensi kemanusiaannya sendiri.
Sebuah pendapat malah mengatakan jika kita ingin melihat anak-anak tumbuh bahagia ke depan, mereka harus kita didik untuk punya keterampilan.
Bukan keterampilan bekerja (semata). Akan tetapi anak-anak itu kita didik untuk selalu mengasah kemampuan, keterampilan dan kebahagiaan untuk hidup bersama dengan orang lain (solidaritas).
Secara filantropis, Indonesia relatif beruntung, karena angka orang berinfak, sedekah, berbagi dan peduli seakan tak pernah mati.
Pada saat yang sama kanal-kanal kebaikan juga terus tumbuh. Ini berarti secara kultur dan alam, Indonesia punya benteng hidup yang sangat kuat perihal solidaritas ini.
Jadi, kalau ada orang Indonesia berpikir dirinya akan bahagia dan anaknya bahagia dengan egoisme, dia sedang menerapkan cara membaca yang destruktif.
Korupsi
Namun, dalam sisi governance, Indonesia menghadapi racun bernama korupsi. Kalau mau dilihat dasar mengapa orang melakukan tindakan kotor ini tidak lain karena orientasi hidup yang sangat materialistik.
Akibatnya uang rakyat selalu dipandang sebagai kesempatan untuk bersenang-senang. Lupa akan amanah yang melekat. Tak sudi dengan tanggung jawab.
Dan, tampaknya tidak salah kalau koruptor itu wataknya cari yang paling menguntungkan bagi dirinya dengan cepat tanpa peduli orang lain. Bahkan hukum dan regulasi ia akali.
Ia tak kenal ungkapan “Kita perlu sadari hak hidup orang lain.”
Rekondisi
Langkah yang Indonesia butuhkan ke depan adalah rekondisi.
Dalam kata yang lain, kalau ingin anak-anak kita bahagia pada masa mendatang, harus kita siapkan mereka terampil bekerja secara filantropis maupun governance, sehingga dua sisi kehidupan penting ini nafasnya sama, yakni solidaritas.
Terlebih kita sering menggunakan diksi bonus demografi. Kita boleh bangga dengan hal itu.
Tapi kita perlu juga segera sadari, dalam bonus demografi itu berapa banyak anak muda yang selamat dari judi online. Kemudian berapa banyak yang tak terjerat pinjaman online.
Saya sendiri sangat yakin, anak-anak Indonesia, kalau mereka memiliki kesempatan yang sama dalam hal akses ilmu dan produktivitas, insha Allah mereka akan tumbuh hebat.
Akan tetapi, sekuat apapun penanaman akademik bangsa ini lakukan, kalau basis moral dan ekonomi rapuh, jatuh menjadi bangsa kacung, sepertinya bukan lagi sebuah ancaman. Tidak lama lagi, benar-benar jadi kenyataan.
Pada level berpikir seperti ini, tak mungkin lagi cukup satu orang tau yang berjuang untuk anak-anaknya, tetapi harus seluruh orang tua. Terutama orang tua yang mereka duduk sebagai pejabat, sebagai ahli, sebagai tokoh. Ayo, jangan diam untuk masa depan anak-anak bangsa nanti.
Baca Lagi: Ini Sistem PenJelas Mengapa Kebiasaan Seseorang Menentukan Masa Depan
Orang tua yang baik dalam Alquran, bukan yang bertanya kepada anak-anaknya apa yang akan engkau makan setelah kematianku. Akan tetapi, siapa yang engkau sembah setelah aku wafat. Jadi, bangkitlah Indonesia!*
Mas Imam Nawawi