Ketika seorang pemimpin politik memegang kekuasaan terlalu lama, dampak yang muncul sering kali lebih buruk daripada kebaikan yang orang harapkan. Inilah yang terjadi pada Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina.
Sheikh Hasina yang berumur 76 tahun mengundurkan diri dan meninggalkan Ganabhaban, kediaman resmi Perdana Menteri Bangladesh, saat para demonstran menerobos masuk ke lokasi tersebut. Tidak kurang 300 orang tewas dalam aksi demonstrasi menuntut Sheikh mengundurkan diri.
Sebuah bukti bahwa memimpin dalam durasi lama bukanlah prestasi. Apalagi dalam masa kepemimpinan soal mendasar justru tak teratasi. Mulai dari kemiskinan, kesehatan dan pendidikan. Dalam diam rakyat mencatat.
Rasa bahagia luar biasa mungkin menghinggapi hati Sheikh Hasina. Pada Ahad, 7 Januari 2024, ia kembali memenangi pemilu.
Dalam hitungan kontestasi ia sukses memperpanjang masa jabatannya sebagai pemimpin yang telah lama memegang kekuasaan.
Namun, pada pekan perdana Agustus 2024, Hasina akhirnya terpelanting dari jabatannya, menandai akhir tragis dari perjalanan panjangnya sebagai pemimpin politik.
Sheikh Hasina benar-benar sosok politisi kawakan Bangladesh. Sebelum kembali menjabat sebagai Perdana Menteri pada 2009, ia telah memegang posisi yang sama pada periode 1996-2001.
Setelah masa oposisi yang panjang dari 2001 hingga 2009, Hasina kembali menduduki kursi kekuasaan, menjadikannya perdana menteri terlama dalam sejarah Bangladesh.
Baca Juga: Sumber Ketenangan
Namun, catatan panjang ini tidak serta merta menjadi prestasi yang membanggakan. Sebaliknya, lama menjabat sering kali mengundang penurunan kualitas kepemimpinan, kurangnya inovasi, dan bahkan korupsi.
Lemahnya Dukungan
Kalau kita mau cermati, sering kali lama memimpin dalam dunia politik beriringan dengan munculnya gejala penurunan dukungan publik.
Rasa aman yang awalnya hadir dalam kehidupan masyarakat bisa berubah menjadi ketidakpercayaan. Terutama ketika pemimpin terlihat lebih fokus pada mempertahankan kekuasaan daripada membawa perubahan yang nyata.
Kasus Sheikh Hasina adalah contoh nyata bagaimana kekuasaan yang berkepanjangan dapat berakhir tragis, menggambarkan bahwa kekuatan dan pengaruh yang diperoleh selama bertahun-tahun tidak dapat menjamin stabilitas atau kesuksesan yang berkelanjutan.
Rakyat mungkin tak sekuat militer, tetapi kesadaran rakyat bisa mengubah situasi dan kondisi dengan cepat.
Pembatasan
Pelajaran yang bisa diambil dari kisah ini adalah bahwa batasan waktu kepemimpinan adalah penting untuk menjaga dinamika politik yang sehat.
Perubahan pemimpin membawa angin segar bagi inovasi dan memungkinkan negara untuk terus berkembang.
Sheikh Hasina mungkin telah mencatatkan namanya dalam sejarah sebagai salah satu pemimpin terlama, tetapi pada akhirnya, kepemimpinan yang terlalu lama dapat menjadi bumerang yang membawa akhir yang tragis.
Pelajaran
Masyarakat dan para pemimpin di seluruh dunia harus belajar dari kisah ini. Kekuatan dan kekuasaan tidak seharusnya dipegang terlalu lama oleh satu orang atau kelompok.
Baca Lagi: Kesetiaan adalah Segalanya
Sistem pemerintahan yang baik harus selalu menyediakan jalan bagi regenerasi kepemimpinan, yang pada gilirannya akan menjaga semangat demokrasi dan mencegah terjadinya stagnasi politik yang merugikan negara.
Beruntung Indonesia selamat dari isu yang pernah menguat bahwa seorang presiden boleh berkuasa selama tiga periode. Tidak terbayangkan jika itu sampai terjadi.
Jika kita ingat pesan Nabi Muhammad SAW, nilai dari kebaikan seseorang ada pada kebermanfaatannya bagi banyak manusia. Bukan seberapa banyak orang bisa memanfaatkan orang lain untuk kepentingannya pribadi. Kata Kang Maman, kita harus berusaha menjadi pribadi yang sujana, bukan durjana.*