Home Opini Korupsi dan Tradisi Berpikir di Indonesia
Korupsi dan berpikir

Korupsi dan Tradisi Berpikir di Indonesia

by Imam Nawawi

Tema korupsi dan tradisi berpikir ini muncul tidak lama setelah saya membaca tulisan berjudul “Pengantar Menuju Filsafat Indonesia” oleh Ferry Hidayat. Ferry mengungkap beberapa fakta. Perpusnas RI, hanya memiliki koleksi 42 judul buku dalam katalog subyek ‘Filsafat Indonesia’. Sementara Filsafat Barat dan Filsafat Timur ada beratus-ratus judul.

Fakta ini rasanya cukup membuat saya merenung, apakah ini bagian dari penyebab korupsi ramai di Indonesia?

Terdidik Tapi Korupsi

Melihat soal ini semakin sesak rasanya dada ini, ketika orang yang tertinggi secara akademik dengan gelar besar, ternyata juga terperangkap pada tindak korupsi. Secara kamus, korupsi artinya penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.

Berita menunjukkan (saya hanya ambil dua saja karena keterbatasan waktu membaca) ada dua guru besar yang terseret kasus rasuah itu.

Pertama, Guru Besar Hukum Pidana UGM Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej pernah berurusan dengan KPK sebagai tersangka gratifikasi. Kedua, Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Achsanul Qosasi. Ia adalah Guru Besar Kehormatan dalam bidang Ilmu Manajemen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unair.

Indonesia menjadi negara yang seperti tak akan sepi dari berita korupsi karena tidak memiliki tradisi berpikir yang solid. Belum ada pemikir, belum muncul filosof, atau bahkan tidak ada kedisiplinan dalam berpikir itu sendiri.

Mana Pemikir Indonesia?

Memerhatikan Gatra edisi 5 Juni 2001, Ferry mengutip ungkapan Hassan Hanafi yang mempertanyakan apakah ada pemikir dari Indonesia, yang kaitannya membuktikan ada pengaruh Muhammad Abduh, Afghani, Rasyid Ridha, Sayyid Qutb dan Hasan Al-Banna di Indonesia?

Logika Hassan Hanafi tampak sangat mudah kita cerna, kalau ada orang terpengaruh oleh pemikiran seorang pemikir, mestinya orang yang terpengaruh itu mengeluarkan hasil-hasil pemikirannya. Nyatanya (mungkin secara akademik) itu belum terlihat.

Kalau kita tarik dalam konteks berpikir dan korupsi, bangsa yang masih korup artinya tidak memiliki tradisi berpikir, kecuali sangat kecil.

Korupsi itu Terencana

Sekalipun korupsi bisa jadi indikasi suatu bangsa belum tumbuh tradisi berpikirnya, tapi koruptor bergerak dengan metode yang terencana. Namanya juga koruptor, pasti berbeda cara dengan maling ayam.

Korupsi berlangsung secara terorganisir secara sistemik, melibatkan jaringan kompleks. Praktik money laundering, suap lintas lembaga, atau kolusi antar-korporasi menjadi bukti bahwa korupsi modern tak lagi terbatas pada satu wilayah. Ia tumbuh subur di celah-celah regulasi yang lemah, menguji integritas sistem hukum, dan mengeksploitasi ketidakpedulian masyarakat.

Lalu bagaimana mendudukkan dua hal yang berseberangan dan bertentangan ini: korupsi dengan berpikir?

Usulan saya sederhana, mumpung Ramadan, mari ingat tugas kita sebagai manusia, yakni menjadi pribadi dengan torehan amal terbaik. Kalau kita mau komitmen dengan itu, menjadi ahsanu amala, apakah masih mungkin kita akan melakukan tindakan korupsi (corrumpere) yang artinya merusak dan melakukan perbuatan busuk?

Bahwa bangsa ini belum bisa melahirkan tradisi berpikir yang massif, setidaknya kita memulai detik ini dengan nafas yang segar untuk siap berpikir. Tapi jangan terjebak rasa puas, siapkan diri membangun jaringan. Karena korupsi tersistem, maka berpikir pun harus solid terkonsolidasi.*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment