Ada satu adegan dalam film Kuruluş Osman yang cukup menyentuh hati. Bala Hatun, putri Syeikh Edebali, memberikan semangat kepada para pejuang perempuan (“Baciyan”), untuk segera membuat roti bagi pasukan. Ucapannya begitu penuh makna.
“Penaklukan tidak bisa dilakukan hanya dengan pedang… Tapi juga dilaksanakan dengan roti, makanan, dan doa.”
Kalimat itu terasa sederhana, tapi sangat reflektif. Ia mengingatkan kita bahwa keberhasilan sebuah bangsa tidak bisa hadir dari satu tangan saja.
Ia membutuhkan kerja bersama, kolaborasi dari berbagai pihak. Bukan hanya senjata atau kekuatan fisik, tetapi juga dukungan-dukungan kecil seperti roti dan makanan—hal-hal yang sering orang anggap biasa, tapi justru menjadi penopang utama.
Begitu pun dengan usaha kita saat ini: membangun generasi cerdas dan unggul Indonesia.
Kolaborasi adalah Kunci
Pemerintah tentu memiliki peran kunci, namun tak bisa bekerja sendiri. SDM unggul tidak lahir dari kebijakan semata, melainkan dari sinergi antara pemerintah, sekolah, orang tua, masyarakat, hingga lingkungan tempat anak tumbuh.
Sayangnya, tantangan yang Indonesia hadapi masih besar. Pada daerah-daerah terpencil seperti Nusa Tenggara Timur, banyak siswa masih kesulitan membaca dan menulis dengan baik.
Infrastruktur pendidikan belum merata, dan akses internet yang lemah membuat mereka tertinggal dalam era digital.
Masalah tidak berhenti sampai di situ. Idi Subandy Ibrahim dalam tulisannya di Kompas.id menyampaikan betapa kompleksnya kondisi dunia pendidikan kita.
Budaya perundungan, plagiarisme, perjokian, hingga kenakalan remaja yang sering kali direspons dengan cara-cara keras dan militeristik.
Dari semua masalah ini, terbesit satu pertanyaan: bagaimana kita bisa menciptakan generasi yang cerdas, jika ruang untuk belajar dengan tenang dan aman saja belum sepenuhnya tersedia?
Mulai Kolaborasi dari Hal Kecil
Jawabannya mungkin ada pada kolaborasi. Kolaborasi yang dimulai dari hal-hal kecil, seperti Bala Hatun yang membuat roti sebagai bentuk dukungan nyata.
Dalam konteks kita, itu bisa berarti guru yang sabar, orang tua yang mendampingi, masyarakat yang peduli, dan pemerintah yang hadir tanpa jarak.
Pembangunan SDM unggul bukanlah peperangan yang harus dimenangkan dengan paket kebijakan tunggal.
Ini adalah proses panjang, yang butuh kebersamaan, empati, dan komitmen bersama. Seperti roti yang mengisi perut pejuang, setiap kontribusi kecil dari kita bisa menjadi energi besar untuk masa depan Indonesia.
Mari kita mulai dengan langkah sederhana: mendukung pendidikan anak-anak di sekitar kita, menjaga lingkungan belajar yang sehat, serta mendorong sistem yang lebih inklusif dan manusiawi.
Karena, seperti kata Bala Hatun, penaklukan terbesar tidak hanya terjadi di medan laga. Ia juga terjadi di dapur-dapur kehidupan, di sekolah-sekolah, di rumah-rumah, dan di hati setiap orang yang peduli akan masa depan anak negeri.
Indonesia memang besar. Tapi kebesaran itu tidak akan terwujud dari satu suara saja. Ia lahir dari harmoni banyak hati yang mau berjalan bersama.
Untuk anak-anak Indonesia yang cerdas, tangguh, dan penuh harapan — mari kita bergegas, membuat “roti” bersama.*