Memperlakukan Ramadhan tidak bisa dengan cara yang sama, biasa-biasa, layaknya waktu di luar Ramadhan.
Bapak Pemimpin Umum Hidayatullah, KH. Abdurrahman Muhammad pada Tarhib Ramadhan 1443 H mengatakan bahwa Rasulullah dan para ulama terdahulu telah menyiapkan diri jauh-jauh hari.
“Bertekad dan berkeinginan keras bahwa kita benar-benar menyambut. Karena memang meyakini, bahwa apa yang (Allah) hidangkan, persiapkan pada Ramadhan itu memang kita yakini (sebagai rahmat, ampunan),” ungkapnya.
Oleh karena itu penting kita menghadirkan mujahadah terbaik dari diri kita semua.
Baca Juga: Profil Alumni Ramadhan Menurut KH. Abdurrahman Muhammad
“Saya kira sudah cukup pelajaran. Luar biasa sudah pelajaran yang kita terima. Yang perlu kita renungkan bahwa kedudukan kita, posisi kita, positioning kita, posisi kita di hadapan Allah dan posisi kita dalam kehidupan ini.
Ini yang perlu kita renungkan sebagai seorang hamba. Ini benar-benar kita harus bermujahadah untuk meletakkan posisi diri kita sebagai hamba,” ulasnya.
“Selanjutnya adalah posisi kita sebagai pemimpin dalam kehidupan ini. Dalam bahasa umum Alquran, khalifatullah,” sambungnya.
Fokus Ramadhan
Jadi, Ramadhan menurut KH. Abdurrahman Muhammad harus mendorong diri sadar sebagai hamba dan pemimpin dalam kehidupan.
Artinya ada sebuah kesadaran, fokus, dan energi gerak yang tegas dan jelas, menjadi hamba Allah yang mampu menebar kebaikan.
Sebagaimana tema dalam Tarhib Ramadhan 1443 H itu sendiri, “Talaqqi Quran Bangun Peradaban.”
Apalagi membangun peradaban, ini adalah suatu mega proyek, karena menyangkut semua aspek kehidupan kita. Jelas butuh mujahadah tiada henti.
“Mega proyek itu kita bangun dari agenda ibadah mahdhah. Kemudian ibadah ghaira mahdhah,” ungkapnya.
“Dalam konteks muamalah, maka ada 1000 macam proyek atau mega proyek. Di sinilah kita memerlukan kesiapan diri, dalam bentuk semangat, mujahadah,” tegasnya.
Baqiyatus Sholihat
Persiapan-persiapan dan komitmen itu adalah dalam rangka mewujudkan amal sholeh yang abadi, kekal (baqiyatus sholihat).
“Mungkin pemahaman kita terhadap ibadah, pemahaman muamalah, atau tugas-tugas kepemimpinan ini, belum seperti pemahaman Rasulullah SAW. Sehingga tidak sama persiapan kita dengan persiapan Nabi.”
Jelas tidak mungkin sama, tetapi setidaknya ada kesadaran untuk berada dalam koridor yang sama.
Baca Lagi: Menikmati Aktivitas Kebaikan
“Kita tinggal ikhtiar penuh mujahadah. Apakah semua ini terpatri dalam hati. Coba renungkan kala sholat, mulut kita sudah membaca doa-doa, tasbih hingga salam. Apa yang terasa, apa yang tertangkap. Kalau belum ada yang terasa dan tertangkap maka itu belum sampai dalam hati. Sampainya pada lisan saja,” urai beliau.
Idealnya usai sholat melahirkan semangat berpikir.
“Kalau selesai sholat, ia tidak melahirkan semangat berpikir, sebagaimana banyaknya ibadah, tanggung jawab, mestinya melahirkan pikiran, mega thinking namanya. Mesti melahirkan berpikir besar,” pesannya.
“Ketika kita mengucapkan Allahu Akbar, apakah sekadar lisan atau masuk ke dalam hati. Apakah melahirkan pikiran besar setelah mengucapkan Allahu Akbar. Semua ucapan, idealnya berpengaruh. Tapi itu kembali pada positioning kita, sadarkah kita sebagai hamba Allah,” urainya.
Pendek kata orang yang mampu menghadirkan Baqiyatus Sholihat kalau dirinya sadar akan hamba Allah yang punya tanggung jawab.
Sebagai pribadi, bagaimana memberi contoh yang baik. Selanjutnya, sebagai keluarga bagaimana kita hadir dengan damai. Dan, sebagai masyarakat bagaimana kita hadir dengan aktivitas penuh perjuangan dan pengorbanan.
Semoga Ramadhan ini mengantarkan diri pada pemahaman utuh sebagai hamba dan terdepan dalam muamalah dengan performa terbaik. Ramadhan momentum terbaik untuk kita bertekad penuh semangat.
“Karena kita hadir untuk kaffatan linnas (seluruh umat manusia). Dan, kita hadir untuk rahmatan lil’alamin (rahmat bagi semesta)
Karena itu pesan Ustadz Adi Hidayat, amal sholeh itu hanya kala manusia melakukan sesuatu atas dasar iman, bukan lainnya. Tanpa iman, amal apapun, tidak bisa kita sebut amal sholeh..*