Senin itu (12/2/24) saudara Hafiz yang merupakan pengajar di STID M Natsir memberiku 3 buah buku. Dan, buku pertama yang kubaca adalah Capita Selecta 3. Mulai dari halaman 1 hingga halaman ke-16 sampailah saya pada satu kalimat penting. Yakni “Ketika Pemimpin Buta Batin.”
Kalimat itu adalah buah dari pidato Natsir yang mengutip ungkapan dari Sjafruddin Prawiranegara. Saya kira ini penting untuk jadi bacaan dan renungan kita terutama di tahun Pemilu Indonesia 2024.
“Apabila para pemimpin rakyat pada satu saat tidak sanggup lagi bekerja betul-betul untuk kepentingan rakyatnya, apabila kedudukan atau kursi sudah menjadi tujuan bukan lagi menjadi alat maka yang akan mengancam negara kita ialah, bahwa demokrasi tenggelam dalam “koalisi” dan kemudian koalisi dimakan oleh “anarki” dan anarki dibatasi oleh golongan-golongan yang bersenjata itu.”
Kalau hendak kita absen, apakah semua itu dapat kita saksikan sekarang?
Bagaimana koalisi melemahkan demokrasi, menabrak etika dan hukum?
Kalau ada ungkapan bangsa yang besar tidak melupakan para pahlawannya, maka yang penting kita lakukan dari sekarang adalah menengok sejarah.
Baca Juga: Sadar sebagai Pemimpin
Tepat sekali, menengok dengan teliti dan dengan penerang yang memungkinkan kita dapat mengambil ibrah, energi dan kekuatan di dalamnya. Selanjutnya bagaimana melangkah ke depan, sehingga terbebas dari pengulangan kealpaan yang terjadi pada masa silam.
Pemimpin Nol
Sebenarnya marwah seorang pemimpin itu ada pada kaumnya, masyarakat yang jadi tanggung jawab sang pemimpin.
Ketika seorang pemimpin melupakan nasib kaum, masyarakat, bangsa dan warga negaranya, sebenarnya ia sudah menjadi nol secara hakikat. Karena seperti seorang ayah, ia tidak merawat anaknya, malah menganiaya dan bahkan membunuhnya.
Adakah manusia yang lebih jahat daripada seorang ayah yang membunuh anaknya sendiri demi hawa nafsunya?
Oleh karena itu kemurkaan Allah kepada pemimpin yang zalim, bengis dan semena-mena sangatlah besar. Fir’aun bisa jadi profil bagaimana pemimpin yang zalim Allah tenggelamkan di lautan. Itu karena Fir’aun menjadi pemimpin yang buta batin.
Kita berharap Indonesia Allah bebaskan dari pemimpin yang buta batin, termasuk yang akan hadir melalui proses Pemilu 2024, baik pilpres, pilgub dan pilkada, semuanya.
Janda dan Bupati
Masykur Arif (2016) dalam karyanya yang berjudul “Wali Sanga: Menguak Tabir Kisah hingga Fakta Sejarah” menuturkan kisah menarik. Hikayat tentang janda dan bupati.
Suatu waktu aksi penyerobotan tanah milik seorang janda terjadi. Asal dari tragedi itu adalah perintah seorang bupati.
Tak tahu harus berbuat apa, janda itu memutuskan pergi ke Sunan Ampel untuk meminta pembelaan.
Janda itu berkata, “Kanjeng Sunan, tanah kami akan dirampas oleh bupati. Padahal, Kanjeng Sunan, dari tanah itu kami dan anak kami bisa makan.
Sebab, tanah itu kami tanami padi dan palawija. Memang, kami akan diberi ganti rugi. Tapi tanah yang hendak diberikan kepada kami kering kerontang dan sulit ditanami. Lalu, karena kami menolak, anak buah bupati setiap hari mengancam kami.”
Singkat cerita, Sunan Ampel menemui sang bupati.
“Maaf Gusti Bupati, saya mendengar Gusti Bupati akan mengambil tanah milik seorang janda.
Kalau boleh saya sarankan, sebaiknya Gusti Bupati jangan melakukannya. Sebagai seorang pemimpin, Gusti Bupati seharusnya melindungi rakyatnya, membuatnya senang dan makmur.
Apalagi, pemilik tanah itu seorang janda yang harus menghidupi anak-anaknya yang yatim.
Andai kata Gusti Bupati meninggal, lalu istri dan putra-putri Gusti Bupati diperlakukan seperti itu, apakah Gusti Bupati rela?
Apakah Gusti Bupati tidak sakit?
Ingatlah gusti, kehidupan ini mirip roda yang berputar; ada kalanya di atas, ada kalanya juga di bawah.
Baca Lagi: Punya Tujuan Harus Siap Ujian
Apakah Gusti Bupati tidak takut menghadapi pembalasan rakyat jika Gusti nanti berada di bawah?”
Kisah ini memberi pelajaran bahwa pemimpin, kalau mau kuat, ia harus mencintai rakyatnya. Beruntung Bupati masih mau mendengar nasihat Sunan Ampel dan akhirnya mengurungkan ambisinya yang menyeruduk etika itu. Jika tidak, mungkin Bupati itu akan jadi pemimpin yang buta batin.
Akankah Indonesia pasca Pemilu 2024 akan memiliki pemimpin yang sehat lahir dan batin, cinta kepada rakyat dan membawa kebaikan bagi Indonesia?*