Menangis, sepertinya hal sepele. Tetapi ada dalam hidup ini orang yang tak lagi mampu untuk menangis. Itu tidak lain karena begitu banyak dan besar dosa yang pernah seseorang lakukan. Lalu ia tidak pernah menyadari apalagi menyesali.
Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan masuk neraka orang yang menangis karena rasa takutnya kepada Allah SWT, sampai air susu kembali ke tempat asalnya sebelum diperah.’ (HR. Tirmidzi).
Baca Juga: Partai Politik Baru di 2024, Akan Bagaimana?
Orang yang dalam hidupnya merasa sangat hebat, lalu melakukan apa saja demi ambisinya yang brutal, orang seperti itu akan sulit menangis. Karena memang hatinya sendiri yang semakin hari semakin keras.
Nada bicara orang seperti itu akan sangat kental dengan aroma arogansi. Gaya hidupnya akan sangat dekat dengan pernak-pernik kemewahan. Pikirannya selalu mencari-cari kesalahan orang lain.
Seperti suku primitif, ia pun akan langsung jatuhkan vonis dan memberi hukuman sendiri. Ia gemar dengan persekusi.
Orang pada era modern, menyebut orang seperti itu sebagai manusia tangan besi, pemimpin otoriter. Menganggap hanya dirinya yang paling benar, paling tepat dan paling layak mendapat penghargaan. Sebuah sikap yang Nabi Muhammad SAW justru sangat menjauhi.
Bau Busuk
Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt menghadirkan kisah singkat namun menarik, soal perilaku manusia yang selalu merasa maunya sendiri adalah kebaikan.
Saat itu ada senator bernama Wyoming Joseph O’Mahoney. Ia adalah orang dekat presiden Amerika kala itu, Franklin Roosevelt. Kedekatan itu sampai membuat keduanya duduk dekat saat sesi makan malam, sebelum Roosevelt dilantik kedua kali di Gedung Putih.
Namun karena Roosevelt punya rencana mengutak-atik Mahkamah Agung Amerika pada tahun 1937, O’Mahoney langsung mengambil sikap jelas. Melawan!
Baca Lagi: Memandang Ide Penundaan Pemilu 2024
Ia menulis kepada temannya, “Semua ini (rencana Roosevelt) berbau Machiavelli, dan baunya Machiavelli busuk!” (Lihat buku “Bagaimana Demokrasi Mati”).
Dunia memang mengenal sosok Machiavelli (1513) sebagai pencetus ide bahwa apapun bisa dan boleh jadi tindakan sejauh bisa merebut atau mempertahankan kekuasaan.
Seperti kata O’Mahoney, Roosevelt pun mendapat banyak perlawanan, karena ide mengutak-atik Mahkamah Agung sama dengan mengubah sistem Amerika sebagai negara demokrasi. Pikiran yang bau busuk dan akan semakin busuk kalau menjadi tindakan.
Mengapa Roosevelt punya rencana itu? Ia adalah satu-satunya presiden yang terpilih empat kali (1933-1945) dalam sejarah pemilu Amerika Serikat. Jadi, pikiran untuk terus berkuasa, tampaknya menjadi ambisi yang tak mampu ia bendung.
Posisi Umat Islam
Kalau kita mau tarik kesimpulan dari dua hal tersebut, maka langkah bijaksananya adalah meletakkan cermin pada wajah sendiri, wajah umat Islam.
Mungkin kita tidak perlu menangis berjama’ah atas kondisi umat Islam yang mayoritas namun tak mampu menjadi prioritas yang berkualitas. Tetapi kita punya kesempatan melihat posisi. Selanjutnya merencanakan agenda perbaikan.
Perbaikan yang membuat kita sadar akan kesalahan dan dosa sebagai umat, sehingga seakan-akan sejak Indonesia merdeka umat Islam hanya menjadi pihak yang selalu merespon.
Bagaimana ke depan umat Islam berperan lebih strategis, menciptakan situasi dan kondisi kondusif, bukan lagi seperti umumnya sekarang, sebatas kemampuan terbatas, yaitu memberi respon kemudian tidak puas. Tanpa pernah mampu melangkah secara serempak bagaimana menghadirkan perubahan.
Mungkin pada titik ini, kita mulai sadar, bahwa sebaiknya kita menangis dalam hal bagaimana mengingat kekurangan masa lalu untuk jadi pelajaran membangun masa depan. Seperti kata Alquran, bagaimana menjadi umat terbaik. Sebagaimana para ulama telah mewariskan negeri ini untuk kita semua.*