Home Artikel Ketika Harta Hanya Seperti Bola
Harta

Ketika Harta Hanya Seperti Bola

by Imam Nawawi

Demi harta orang rela jadi gila. Memutus silaturahmi dengan saudara. Menjadikan kawan sebagai lawan. Mengundang lawan jadi kawan. Tapi saat kita cek apa sebenarnya harta, ternyata tak lebih seperti sebuah bola. Itulah ungkapan Epictetus yang Henry Manampiring kutip dalam bukunya “Filosofi Teras”.

Bagi Epictetus dalam permainan bola, bola itu utama. Akan tetapi yang jadi soal bukan bolanya. Walakin bagaimana orang yang bertanding mampu mengelola meng-handle bola dengan baik.

Akan tetapi dalam kenyataannya, manusia banyak yang berebut bola, sehingga tidak terjadi permainan bola. Tidak banyak orang lahir dan tumbuh dengan kemampuan meng-handle bola dengan sangat baik. Bahkan demi bola manusia rela tidak jadi makhluk berakal, makhluk berbudi. Mereka lalu membuat definisi sendiri demi bola manusia adalah makhluk ekonomi.

Sejak saat itu, legallah eksploitasi alam. Menjadi wajarlah penjajahan manusia atas manusia lain. Manusia telah termakan oleh dogma bola. Lagi-lagi, demi bola manusia memusuhi agama. Karena bola manusia memandang bohong sebagai strategi. Padahal itu bukti bahwa akal dan hatinya telah lama bolong, dihantam apa yang orang sebut dengan materialisme.

Kelola Harta dengan Infak

Secara empiris, pun secara langsung, kita tahu manfaat harta. Siapa berharta, ia mudah melakukan apa saja. Sebaliknya, siapa yang kurang harta pasti akan kesulitan mengisi kehidupan dengan standar kelayakan. Tapi kita harus paham, sebenarnya harta itu seperti pupuk, ia harus beredar ke semua pohon. Itulah prinsip keadilan sosial.

Tuhan tidak pernah meminta kita menyerahkan seluruh harta kita untuk menyirami orang miskin. Tapi infakkan sebagian. Zakat hanya 2,5%. Berikan itu hak orang miskin. Artinya, tidak sehat orang kaya yang menjadi bakhil. Gelap mata sehingga tidak peduli sesama.

Ketika orang sadar tentang bagaimana menggunakan harta, maka ia tidak akan menjadi penjahat negara. Penjahat yang mengorbankan rakyat demi dapat harta dengan cara korupsi.

Bahkan menariknya, infak itu bukan hanya perlu orang kaya lakukan. Orang yang dalam kondisi ekonomi sempit pun penting mengamalkannya. Agar miskinnya tak jadi sebab hati iri dan dengki kepada yang kaya. Kaya dan miskin sama-sama yakin bahwa inti dari rezeki dalam hal ini harta, terletak pada keberkahannya.

Bukan seperti fenomena belakangan, dimana orang berlomba-lomba jadi pembohong demi harta.

Seneca berkata, “Manusia yang mampu menahan dirinya untuk hidup dalam batas yang ditetapkan Alam, tidak akan merasakan miskin. Sebaliknya, manusia yang melewati batas-batas ini akan terus-menerus dikejar kemiskinan, tak peduli betapa kayanya dia”.

Buang Paradoks

Kalau pemimpin negara, pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama, mengerti esensi akan hal ini. Rasanya Indonesia akan berhenti dari paradoks.

Paradoks yang anak kecil pun tahu. Indonesia negara yang kaya, tapi mengapa rakyatnya hidup menderita secara ekonomi. Penduduk miskin selalu ada atau terpelihara. Bansos selalu jadi senjata merayu penduduk-penduduk miskin memilih pemimpin tidak pandai meng-handle bola.

Kalau ada krisis ekonomi, pejabatnya yang berteriak: orang miskin harus diet. Sedangkan pejabat yang penuh fasilitas kemewahan dari tangis rakyat itu tetap saja menjadi budak bola. Mereka tersenyum, merasa beruntung. Meski sebenarnya mereka sudah tak lagi sadar dirinya sebagai manusia.*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment