Ketika angka hilang makna sebenarnya adalah respon cepat saya terhadap berita dari Maluku Utara. Perihal pertumbuhan ekonomi yang katanya tinggi tetapi tidak menyentuh rakyat.
Detik.com melansir bahwa pertumbuhan ekonomi Maluku Utara (Malut) mencapai 27%.
Angka itu menjadi yang paling tinggi dari provinsi lainnya. Namun, menurut Gubernur Malut, Abdul Ghani Kasuba, angka itu tidak berpengaruh kepada kehidupan masyarakat Malut.
Dalam rapat kerja nasional pengelolaan dana lingkungan hidup tahun 2022 di Gedung AA Maramis, Kemenko Perekonmian (21/12) sang gubernur menyampaikan keluhannya.
Baca Juga: Ambruknya Ekonomi Digital
“Ibu Menteri, menjadi viral Maluku Utara itu 27% pertumbuhan ekonomi. Katanya kita hati-hati hati-hati. saya berpikir, kalau kita hati-hati akan sulit menjaga pertumbuhan ekonomi,” katanya.
“Pertumbuhan ekonomi tinggi, sebenarnya masyarakat tidak menikmati apa-apa,” ujarnya.
Kekayaan Alam
Ungkapan Gubernur Malut itu, sangat relevan dengan apa yang sebagian besar rakyat Indonesia rasakan. Kekayaan alam senantiasa dieksplore, namun hasil kekayaan tak pernah menyentuh rakyat.
Dalam situs antikorupsi.org kita temukan sebuah jawaban. Bahwa korupsi dan koalisi jahat antara perusahaan ekstraktif, yang kebanyakan perusahaan multinasional, dan pejabat pemerintah bermental buruk.
Akibatnya kekayaan alam yang melimpah itu hanya menjadi kenikmatan yang bisa dirasakan oleh elit.
Mantan Presiden Turkmenistan Niyazovterus ternyata menyimpan dana hingga 3 miliar dollar AS dari pendapatan kilang minyak dan gas lepas pantai.
Jadi, kalau kita mau potong kompas dalam memahami masalah ini, penyebab angka-angka pertumbuhan ekonomi tidak rakyat nikmati adalah karena memang peredaran hasil kekayaan alam itu hanya berputar pada lingkaran elit.
Benahi
Dalam masalah ini maka langkah yang paling urgen kita lakukan adalah pembenahan. Pembenahan kita lakukan dari diri sendiri, jiwa kita sendiri, yaitu kejujuran.
Jangan sampai angka berhambur begitu hebat, tapi itu tanpa makna. Kosong belaka bagi kehidupan rakyat kecil.
Baca Lagi: Dakwah Sesuai Perkembangan Digital
Tetapi pada situasi inilah kaum muda punya tantangan. Akankah dirinya mau memahami persoalan dengan baik dan menemukan solusinya.
Ataukah menjadi orang yang terseret arus destruktif teknologi yang sebenarnya lebih banyak memenggal kesempatan kita menjadi manusia dengan kekuatan literasi tinggi. Akibatnya kita hanya menjadi orang yang responsif dan gagal menjadi pribadi penuh arti.*