Home cerita Ketakutan yang Tak Perlu
Ketakutan yang Tak Perlu

Ketakutan yang Tak Perlu

by Imam Nawawi

Bejo tahu-tahu sesenggukan. Ia teringat ucapan pamannya dahulu, bahwa Bejo akan sulit meniti masa depan kalau tak pandai matematika. Pak Daeng sudah menasehati bahwa itu adalah ketakutan yang tak perlu.

“Orang kucing saja tidak tahu matematika, tetap bagus masa depannya. Masak manusia gak bisa ahli matematika akan buruk masa depannya. Yo, ora logis, Jo,” ucap Pak Daeng menggunakan dialek Jawa yang membuat Bejo tergoda untuk tersenyum.

Tetapi Bejo memang begitu. Ia sering tak mampu mengendalikan emosinya. Perasaannya lebih kuat.

Baca Juga: Rasa Takut Ini Jangan Sampai Menguasai Diri

Setiap dia ingat sang paman, kalimat itu yang terus mengganggu pikiran. Bejo tak sekuat Asep. Bejo selalu meneteskan air mata. Tapi sebenarnya ini bukan soal matematika pelajaran.

Sekalipun Bejo adalah sosok anak muda yang cerdas. Ia sering gagal kalau harus mengatasi masalah pribadinya, masalah psikologi dan bayangan menakutkan akan masa depan. Sekali lagi itu soal matematika yang bukan pelajaran.

“Ini tidak biasa, pasti ada yang aneh.” Asep mulai mendekat, melihat Bejo berwajah sedih.

“Biasa Sep, dia teringat ucapan pamannya. Bejo punya ketakutan yang tidak perlu,” ucap Pak Daeng mengejutkan Asep ketika ia hendak mengusap kepala Bejo.

“Takut apa kamu, Jo? Masa depan, penilaian orang, atau takut kamu gak jadi orang?”

Asep menghujani pertanyaan kepada Bejo, bertubi-tubi.

Ahsantum

“Matematika, Sep.”

Bejo menjawab sembari mengusap pipinya.

“Kamu sendiri yang bilang kalau masa depan itu gak perlu takut. Orang di masa depan tergantung dari kelakuannya hari ini. Kalau baik, katamu itu ahsantum, maka masa depan juga ahsantum. Kenapa gara-gara ucapan paman yang harusnya kamu semangat belajar, malah kamu tangisi. Aneh, Jo.”

Bejo diam saja, mendengar kuliah dari Asep.

“Apa kita hidup harus seperti Al-Khawarizmi, ahli matematika, tidak juga kan?”

Asep meneruskan paparannya.

Bejo masih setia dengan sikap awalnya, diam, menyimak dengan badan sama sekali tak bergerak. Mematung, hanya sesekali hembusan nafasnya terdengar kencang melalui hidungnya.

Matematika Hidup

Bejo perlahan mulai mengangkat wajah.

“Matematika yang pamanku maksud bukan pelajaran matematika. Tetapi matematika hidup.”

Bejo mulai meluncurkan argumen kepada Asep.

Baca Lagi: Islam Sebagai Jalan Hidup Masa Depan

Asep mulai siaga, sebab kalau Bejo sudah berargumen, biasanya jauh lebih kuat daripada pandangan-pandangan Asep.

“Kata pamanku, matematika hidup itu soal bagaimana kita bisa menghitung diri sendiri. Jangan sampai sibuk mengurus orang lain, ternyata kita punya banyak kesalahan dan kelemahan. Tapi tidak kita sadari dan tidak kita perbaiki.”

Sekarang giliran Asep dan Pak Daeng mendengar uraian Bejo.

“Nah, pas paman memberi nasehat itu. Aku teringat diriku yang selalu mengomentari politisi, begini, begitu. Kamu juga tahu. Pak Daeng juga begitu. Tetapi apa yang kita siapkan untuk mengubah semua keadaan ini, Sep. Kita gak bisa mengubah Indonesia dengan begini-begini saja, Sep.”

Bejo semakin serius berbicara. Kalau tidak karena malam, mungkin suara Bejo sudah seperti pemimpin demonstran.

Asep dan Pak Daeng yang awalnya diam perlahan kesetrum dengan ucapan Bejo yang seakan sesi akhir training, yang mengundang emosi dan air mata.

Ketiganya pun saling berdekatan, kemudian berpelukan. Kini benar-benar berbeda. Ketiganya sesenggukan secara bersamaan.

Dunia memang berputar, ada kalanya mereka tertawa. Kini tiba gilirannya mereka serentak meratup. Seperti pesan dari sang paman, matematika hidup itu memang perlu.*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment