Suatu waktu saya berkesempatan menonton film “Rise of Empires: Ottoman”. Ucapan seorang penjahat namanya Vlad Dracula dalam surat rahasia kepada adiknya, Radu: “Kesetiaan adalah segalanya.”
Tidak lama kemudian saya mengambil buku karya Eric Barker “Mendaki Tangga yang Salah.”
Dan, ada kalimat yang relevan dengan ucapan Vlad dalam surat itu. Bahwa satu hal yang sangat menentukan dalam dunia kejahatan adalah kepercayaan dan kesetiaan.
Kepercayaan dan kesetiaan dalam dunia kejahatan adalah hal yang sangat dijaga. Sekali ada yang berkhianat, kepala taruhannya. Seperti dalam film-film itu, jika ada yang gagal tugas dan mau beralasan, kematian segera memeluknya.
Setia pada Kebaikan
Namun, sebaik-baik kesetiaan adalah pada kebenaran.
Baca Juga: Mendesain Optimisme dalam Diri, Bisa Kok!
Pernah suatu waktu, seorang kolega, ia pakar dan sangat peduli kepada sesama bertutur. “Saya pernah bersama seorang politisi. Suatu waktu kami berbeda pendapat. Ia mengatakan lebih baik Anda setia bersama kami. Saya katakan, saya tipe manusia yang hanya setia pada nilai, pada kebenaran, bukan pada orang.”
Ucapan kolega saya itu tentu karena perasan mendalam atas nilai, ajaran, fakta, dan sejarah. Bahwa orang yang hidupnya bersandar pada manusia, pasti binasa. Satu-satunya yang membuat seseorang bernilai, bahkan ketika telah meninggal dunia adalah yang loyal kepada kebenaran.
Orang mungkin bisa dapat keuntungan materi ketika berkhianat pada kebenaran. Akan tetapi, akal dan hatinya akan tersiksa. Karena tidak ada jalan bahagia kecuali menempuh jalan yang lurus.
Hanya saja dalam komunitas nilai kebaikan dan kebenaran, kesetiaan tidak dijaga ketat seperti dalam dunia kejahatan. Akibatnya, tidak sedikit orang gugur idealismenya karena hijaunya dunia.
Sejurus kemudian ia hidup nyaman. Rumah, mobil, jabatan, telah disediakan. Tetapi apakah tindakan itu tanpa hukuman pada akhirnya?
Bagaimana Setia Itu?
Lantas bagaimana cara kita bisa setia pada nilai?
Baca Lagi: Jangan Gundah, Tetap Istiqomah Hadapi Masalah
Jawabannya singkat, yakin. Yakinlah sebagaimana Nabi Muhammad SAW sungguh-sungguh percaya akan kemenangan dakwah.
Dan, bersiaplah yakin seperti Nabi Yusuf as, sehingga ia tidak sibuk bercerita bahwa dirinya menderita. Tetapi ia optimis dengan mendalam bahwa esok mimpinya akan jadi kenyataan.
Ustadz Subur Pramudya, Ketua DPW HIdayatullah Sumatera Utara dalam orasi penutupan Semarak Kemerdekaan dai se-Sumatera Utara di Pulau Samosir memberikan penegasan bagaimana setia itu kita konkretkan.
“Kalau kita sudah memilih jalan dakwah ini, jangan kendor, apalagi mundur. Gagal, tidak apa-apa. Pelajari kenapa gagal dan perbaiki agar ke depan berhasil. Sungguh kita akan sampai pada kenyataan yang membuktikan bahwa keyakinan kita benar, hanya ketika kita tidak berhenti melangkah, tidak pernah mau menyerah,” tegasnya dengan suara yang berapi-api.
Jadi, setia itu yakin. Loyal itu tidak labil. Dan, teguh itu tidak runtuh. Dalam kata yang lain, cek dalam hati ini, kepada siapa kita setia. Kepada iman, kepada Islam, atau kepada jabatan. Lebih buruk lagi adalah apakah kita setia kepada orang. Orang bisa salah bahkan bisa berubah. Maka sebaik-baik kesetiaan adalah syahadat kita.
Alquran mendorong kita bertakwa dan jangan mati kecuali dalam keadaan berserah diri. Itulah kesetiaan sejati.*