Home Kajian Utama Kesadaran Buya Hamka Muda, Wajib Kaum Muda Pahami
Kesadaran Buya Hamka Muda

Kesadaran Buya Hamka Muda, Wajib Kaum Muda Pahami

by Imam Nawawi

Membaca kisah Buya Hamka terutama pada Novel karya A. Fuadi, saya seperti menyusuri jalan kehidupan manusia. Ya, manusia pada umumnya. Hal itu kala membaca kesadaran Buya Hamka kala muda.

Kala usia masih 15 tahun, Malik (nama kecil Buya Hamka) hendak merantau ke Tanah Jawa. Namun baru tiba di Bengkulu, penyakit cacar menyerangnya. Kemudian menyusul malaria juga melanda tubuhnya.

Dua bulan lamanya Malik mendapat perawatan di Bengkulu. Usai itu barulah ia kembali ke Padang Panjang.

Baca Juga: Film Buya Hamka Benar-Benar Kaya

Akibat cacar dan malaria yang menyerangnya, Malik jadi kurus, rambut rontok, wajahnya pun penuh lubang bekas cacar. Tak lama kemudian Buya Hamka kena kudis.

“Ini masa kelamnya di usia anak menjelang dewasa. Ketika mulai sadar dengan modal gagahnya secara fisik, modal itu pulalah yang sekarang rusak dan hilang. Kepercayaan dirinya sempat goyah. Untuk beberapa lama Malik berada dalam situasi penuh tekanan perasaan.” Tulis A. Fuadi dalam novel itu.

Titik Kesadaran

“Ya Allah. Lalu aku harus bagaimana?” kata Malik dalam hati merenung sambil memandang jauh ke arah Danau Maninjau.

Itulah awal kesadaran Buya Hamka yang saya kira sangat menarik jadi perhatian kaum muda.

Betapapun masa muda kalian tidak sempurna, jangan hanya sibuk merisaukannya. Tetapi ambil sebuah langkah perenungan dan segeralah temukan titik kesadaran. Agar hidup semakin tumbuh dan terus berkembang.

Fuadi menjelaskan, “Cara tumbuh yang dia tahu adalah mengasah kepandaian dan membaca. Maka kembali dia tenggelamkan dirinya dalam membaca, membaca apa saja.”

Bukan berarti dengan membaca itu Malik tahu semua yang ia baca. Ada yang dia paham, ada yang setengah paham bahkan ada yang sulit ia pahami. Namun ia punya kuncinya, ia terus membaca, terus belajar.

Bahkan dari upaya itulah Malik akhirnya memiliki budaya disiplin belajar secara otodidak.

Menulis

Banyak membaca membuat akal Malik tumbuh, seperti akar pepohonan ia terus menghujam ke dalam bumi. Kokoh menyerap nutrisi intelektual dan spiritual untuk tumbuhnya akhlak yang mulia.

Malik memulai budaya menulis. Apa yang ia anggap penting dari buku yang ia baca, ia mencatatnya. Hingga akhirnya Malik mampu mencatat apa yang tumbuh dari dalam hatinya.

Baca Lagi: Yang Sulit Diperbaiki

“Catatan dengan huruf Arab Melayu dan latin ini hasil dia membaca buku roman, sejarah, syair, dan juga ayat-ayat suci Alquran yang kuat dan mengena di hatinya,” tulis A. Fuadi.

Singkat cerita dari sanalah Malik yang kemudian kita kenal dengan panggilan Buya Hamka tumbuh dan berproses.

Prinsipnya adalah temukan titik kesadaran. Hendak dengan apa kita hidup bermanfaat pada masa mendatang.

Kalau kembali pada perintah Allah yang pertama, maka asahlah kepandaian. Dan, itu jalannya hanya satu, membaca. Syukur bisa kita sempurnakan dengan menulis.

Jadi, kalau karya Buya Hamka berupa buku begitu banyak, itu semua adalah buah dari titik kesadaran Buya, kala berusia 15 tahun.

Sejak usia itu, Buya Hamka menghabiskan waktu mudanya untuk membaca, menulis, yang itu membimbing Buya Hamka punya pikiran dan karya besar.

Terimakasih A. Fuadi, tulisan Anda membuka fakta kesadaran yang penting bagi semua anak muda Indonesia.*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment