Home Artikel Kepemimpinan Tidak Gratis
Memimpin itu butuh iman, mental dan keberanian

Kepemimpinan Tidak Gratis

by Mas Imam

Betapa banyak orang menganggap memimpin itu mudah, menjadi pemimpin itu enak dan bisa dilakukan siapa saja dan kapan saja. Seolah-olah kepemimpinan itu perkara yang amat sepele.

Terlebih kalau ada modal sosial yang memadai, seperti tingkat popularitas hingga pengaruh serta kendaraan yang dapat diandalkan.

Dan, pemandangan nyata dari hal tersebut bisa dilihat di antaranya melalui hiruk pikuk kepemimpinan yang kini terjadi di Partai Demokrat.

SBY jelas banyak pihak mengakui kualitas kepemimpinannya. Namun sang putra, AHY tampaknya memang harus terus melakukan penempaan.

Baca Juga: Gapai Hidup yang Indah

Secara praktis dan langsung, AHY sebagai sosok pemimpin memang mendapat terpaan angin yang begitu kencang, terlebih dalam tempo yang bisa dikatakan singkat, ia belum menunjukkan performa terbaik.

Meminjam bahasa dari Direktur Ekesekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari, AHY gagal dua kali. Pertama gagal di arena pertarungan (Pilgub DKI). Kedua gagal masuk arena (menjadi cawapres di 2019).

Di negeri ini pun sama, kepemimpinan Presiden Jokowi kerap belum kunjung menampilkan performa memuaskan, terutama dalam hal keseuaian harapan publik dengan kebijakan pemerintah. Terbaru, kasus legalitas miras yang mengundang hujan protes begitu keras dari masyarakat.

Dari dua fakta ini kita patut merenung, bahwa kepemimpinan bukanlah perkara gratis, yang kalaupun bisa diperoleh dengan mudah, pada akhirnya hukum alam (sunnatullah) akan bekerja sebagaimana mestinya. Dimana kepemimpinan seseorang akan terus mendapatkan ujiannya sendiri. Kalau skalanya besar, tentu saja, ujian itu akan berdampak langsung pada nasib orang banyak.

Nasib Kepemimpinan

Memimpin, ketika jiwa siap 100% dan terus berupaya mengundang pertolongan Allah, tentu peluang akan mendapatkan kebaikan terbuka lebar.

Tetapi, jika sebaliknya, masih ada ruang-ruang kosong yang diisi pretensi dan ambisi pribadi, tambah ketidakikhlasan dalam memimpin, boleh jadi ini adalah awal dari bencana besar dalam hidup seseorang.

Seperti diriwayatkan oleh Tabrani dari Abu Wail Syaqiq Bin Salamah bahwasanya ketika Umar ra menugaskan Busyur ibnu Asim ra untuk mengurus sedekah suku Hawazin, Busyur tidak mau menerimanya.

Ketika ditanya, ”Mengapa kamu tidak mau menerimanya?” Busyur menjawab, ”Seharusnya aku menaati perintahmu, tetapi aku pernah mendengar Nabi SAW bersabda, ‘Barang siapa yang dibebani mengurus suatu urusan kaum Muslimin, maka di hari Kiamat kelak ia akan diberdirikan di tepi jembatan neraka Jahanam. jika ia melaksanakan tugasnya itu dengan baik, ia akan selamat. Namun, jika ia tidak melaksanakannya dengan baik, ia akan dilemparkan ke bawah jembatan Jahannam itu dan akan terpelanting ke dalamnya selama 70 tahun’.”

Memimpin itu siap tanggungjawab dunia dan akhirat

Memimpin itu siap tanggungjawab dunia dan akhirat

Dalam kata yang lain, ketika seseorang dengan amanah kepemimpinannya tidak sungguh-sungguh, apalagi gagal menakar kemampuan dirinya, tetapi sangat senang dengan amanah kepemimpinan, maka alamat dia akan mendapati kerugian demi kerugian.

Sebab disadari atau tidak, amanah kepemimpinan akan menentukan nasib seseorang di alam akhirat kelak. Jika baik dan benar, insha Allah selamat dari neraka.

Baca Juga: Kehancuran Besar, Kapan Terjadi?

Dalam konteks demokrasi, jelas ini juga menjadi satu panduan, bahwa sekalipun terkesan sekedar memilih, rakyat harusnya serius dan benar-benar melalui pertimbangan matang, siapa yang tepat dipilih untuk menjadi pemimpin. Salah memilih sama dengan memilih masa depan yang salah.

Jangan Mendambakan Jabatan

Sebagai agama paripurna, Islam tidak memberikan tuntunan kecuali benar-benar sempurna. Termasuk dalam hal jabatan, Islam mendorong agar umatnya tidak ambisius, mendambakannya saja jangan.

Suatu waktu Rasulullah bersabda, “Ya ‘Abdur-Rahmân, janganlah engkau meminta jabatan pemerintahan. Apabila jabatan itu diberikan kepadamu dikarenakan engkau memintanya, maka jabatan itu sepenuhnya akan dibebankan kepadamu.

Namun apabila jabatan itu diberikan bukan karena permintaanmu, maka engkau akan dibantu dalam mengembannya. Jika engkau bersumpah atas suatu perkara, setelah itu engkau melihat ada yang lebih baik dari sumpahmu, maka tunaikan kafaratnya dan lakukan apa yang lebih baik.” (HR. Bukhari).

Dalam kata yang lain, kepemimpinan bukanlah perkara sepele. Ia akan menjadi kebaikan jika diri memang siap mengembannya dan umat memberikan kepercayaan. Tetapi, sebaliknya, seseorang akan terhempas ketika ia mendamba, sedang kemampuan belum memadai, terlebih jika secara orientasi belum benar-benar dalam rangka mendapat ridha Ilahi.

Jika belajar dari Nabi Yusuf, jelas perjalanan menjadi pemimpin tidak instan. Butuh komitmen tinggi dan perjalanan panjang. Demikian pula dengan Nabi Muhammad SAW. Tidak sehari dua hari diproses. Oleh karena itu, semua pihak harus cerdas melihat, kepada siapa amanah kepemimpinan hendaknya dijatuhkan. Allahu a’lam.*

Mas Imam Nawawi_Perenung Kejadian

Related Posts

Leave a Comment