Home cerita Kenapa Rasulullah SAW Sering Menangis?
Kenapa Rasulullah SAW Sering Menangis

Kenapa Rasulullah SAW Sering Menangis?

by Imam Nawawi

“Dang,” Ilham memanggil temannya yang ia kenal banyak referensi kehidiupan Nabi dari kitab-kitab ulama. “Kenapa Rasulullah SAW sering menangis?”

“Memang ada apa, Ham?” Dadang menimpalinya.

Ilham mulai menggaruk bagian atas kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.

“Beliau itu orang terdekat Allah, kekasih Allah, mestinya kan, bahagia, Dang. Kenapa ini malah menangis. Menangis kan, lebih identik dengan kesedihan,” Ilham menuturkan keingintahuannya.

Baca Juga: Ternyata Rasulullah Senang Bermain dengan Anak-Anak

Mendengar itu, Dadang duduk di teras masjid. Usai menghirup nafas panjang. Ia menjawab ungkapan sahabatnya yang memang baru belakangan suka membaca buku-buku ke-Islam-an.

“Duduk sini, Ham. Pernah tidak kamu melihat ibumu menangis, sedangkan kamu naik kelas?”

Ilham hanya mengangguk.

“Ibumu sedih atau senang?”

Spontan Ilham menjawab, “Senang, tapi ya, itu, kenapa dengan menangis?”

Dadang sebenarnya agak jengkel mendengar jawaban itu. Tapi ia ingat pesan gurunya, kalau menyebarkan ilmu harus ikhlas, jangan tertipu pada respon orang, baik itu senang, tidak senang atau biasa-biasa saja.

Dadang kembali menghirup nafas panjang. Sembari memegang pundak Ilham, Dadang bertutur.

“Apa kamu kira orang yang tertawa terbahak-bahak itu bahagia, apa kamu kira orang yang tertawa dalam tempat yang ia bermaksiat kepada Allah itu bahagia?”

Mendengar itu Ilham seperti akan segera mendapat vonis buruk. Ia gusar, ia merasa bersalah, bertanya hal itu kepada Dadang.

Imam Ghazali

Ketika dialog dua teman itu seperti akan buntu, melintaslah Faza, sosok murah senyum lagi dalam ilmunya.

Dadang memanggil Faza. “Bro, sini. Bantu kami,” ucap Dadang yang menghentikan langkah kaki Faza.

Setelah mendengar cerita dari Dadang dan Ilham menyatakan hal yang sama, Faza hanya tersenyum.

“Pas, nih. Tadi Shubuh saya membaca buku karangan Imam Ghazali. Judulnya, “Antara Harap dan Cemas.” Sabar, ya, saya ceritakan,” Faza mulai membuat dua sahabatnya itu membenarkan posisi duduk untuk menyimak secara seksama.

“Ketika Perang Badar berkecamuk hebat, kemudian Rasulullah SAW melihat pasukan umat Islam melemah. Rasulullah langsung berdoa.

“Ya, Allah jika kelompok (umat Islam) ini binasa, maka tak akan tersisa lagi, di atas permukaan bumi ini, seorang pun yang akan menyembah-Mu.”

Nah, doa itu didengar oleh sahabat setia beliau SAW, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq .

Ayah Aisyah ra itu berkata, “Cukuplah munajatmu kepada Tuhanmu, sebab Ia akan memenuhi janji-Nya kepadamu.”

Faza masih melanjutkan penjelasannya.

“Imam Ghazali menjelaskan bahwa posisi Rasulullah seperti itu karena Rasul mengenal betul siapa Allah. Dan, itu membuat Rasulullah merasa tidak aman akan perencanaan Allah. Itu maqam manusia tertinggi.

Sedangkan Abu Bakar, adalah orang yang maqamnya percaya kepada Allah, sehingga ia selalu yakin bahwa Allah tidak akan pernah menyalahi janji-janji-Nya.”

Mengenal Dunia

“Nah…. itu, Ham. Kenapa Rasulullah SAW suka menangis. Maksudnya mudah menangis,” Dadang menyela penjelasan Faza.

Ilham hanya manggut-manggut sembari mengelus-elus janggutnya yang hanya beberapa helai, bak orang tua yang terlambat belajar.

Baca Lagi: Yang Membahagiakan

“Ham, saya tambahkan. Pas saya juga tadi membaca buku hadits,” Dadang sangat ingin Ilham bertambah yakin.

Rasulullah SAW itu pernah menangis dalam sholat malam, sampai janggut beliau SAW basah dengan air mata.

Melihat itu, Bilal bin Rabah ra memberanikan diri bertanya.

“Ya Rasulullah mengapa engkau menangis ketika Allah SWT mengampunimu atas segala apa yang telah lalu dan apa yang akan datang.

Rasulullah menjawab, “Apakah saya harus tidak menjadi hamba yang bersyukur?

Sebuah ayat turun padaku malam ini, dan celakalah bagi orang yang tak membaca dan mentafakurinya. yaitu ayat: إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ

Jadi, kalau kamu sering tertawa Ham, banyak main-main, kerja banyak sosmed-an, payah kamu, Ham. Kamu benar-benar gagal memahami Nabi kita sendiri Ham. Kamu harus bertaubat, Ham.”

Mendengar itu, semua tertawa, lalu beranjak dari duduknya dan bersiap ke masjid.

“Lima menit lagi adzan Dhuhur,” kata Faza. Ketiganya pun melangkah ke masjid.

Seperti malam pengantin, mereka tersenyum bahagia.

Ada ilmu yang sampai ke dalam jiwa dan jiwa yang sampai ke dalam ilmu. Kebahagiaan yang lebih nikmat dari segala nikmat duniawi.*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment