Mengenali politik gimik penting sekali bagi setiap orang berwarga negara Indonesia. Begitu kita memahami hal itu, segera berikan “hukum” moral.
Hal ini karena secara bahasa, gimik (gimmick) adalah tingkah laku yang memanfaatkan kemasan, tampilan, alat tiruan, dan serangkaian adegan untuk mengelabui, memberikan kejutan, dan menciptakan suatu suasana.
Dalam KBBI gimik adalah gerak-gerik tipu daya aktor untuk mengelabui lawan peran. Singkat kata, gimik itu artinya menipu.
Najwa Shihab kala menerima penghargaan “Insan Pertelevisian Terbaik 2016” berkata, “Apa pun yang tampil di layar kita akan melebihi waktu, melampaui generasi, membentuk wajah dan kepribadian negeri.”
Lihat saja, bagaimana sekarang orang bisa begitu cepat terjebak perdebatan sengit karena berita hoax yang dibaca di layar smartphone.
Selain karena belum terbiasa mencerna berita secara sehat dalam nalar, boleh jadi orang itu terjebak oleh gimik yang hadir, mengemas kepalsuan seakan nyata.
Masih ingat dahulu ramai kata “gorong-gorong” dan kemudian rakyat tetap dalam kondisi belum tertolong secara ekonomi. Padahal orang itu telah menjadi pemimpin sah.
Mengapa visualisasi dalam masa kampanye berbeda dengan realitas yang ada saat ia duduk dengan kuasa penuh untuk menentukan arah negeri.
Karakter
Problem gimik dalam politik sepertinya telah menjadi kesadaran banyak pihak. Buktinya dunia pendidikan Indonesia sempat menjadikan kata karakter sebagai “mantera” utama.
Narasi bahwa pembentukan karakter baik penting, akhirnya menjadi perbincangan banyak pegiat pendidikan.
Tetapi, sampai saat ini, karakter ternyata tak semudah perbincangan dalam perumusan atau pun pembahasan. Malah kejadian yang mengejutkan kita semua, seorang rektor universitas malah jadi pelaku tindak pidana korupsi.
Lantas bagaimana agar karakter baik itu hadir dalam diri para politisi dan anak bangsa secara keseluruhan?
Menurut Al-Attas, kita harus memahami bahwa hati, jiwa, ruh dan akal adalah sesuatu yang tidak terbagi (didikotomikan).
Karena memang tidak mungkin orang berani bertanggungjawab kalau akalnya cerdas, tetapi hatinya keruh.
Buya Hamka dalam buku “Pribadi Hebat” menerangkan bahwa orang yang hanya tahu bagaimana untung dunia semata dengan melakukan tindakan haram, kemudian melupakan akhirat, sebagai orang yang terseret kerja-kerja hawa nafsu.
Nah, dari sini kita menjadi paham, apakah dalam politik, antara akal, hati, jiwa dan ruh telah menjadi satu kesatuan. Atau dari semua itu masing-masing terpisah dan tunduk kepada hawa nafsu?
Dalam kata yang lain, ke depan melihat politisi sederhana saja. Lihat kata-katanya, bandingkan dengan kebijakan dan perilakunya. Kalau sesuai, bisa kita pilih. Kalau bertentangan, biarkan saja dia terus meyakini gimik sebagai jalan kehancurannya.
Politik Progresif Beradab
Bagaimana cara menghilangkan politik gimik?
Jawaban saya sederhana, mari hadirkan mentalitas dan kesadaran politik progresif beradab.
Politik yang bukan semata berbicara soal kekuasaan yang memaksa. Tetapi kekuasaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan, adil dan beradab.
Mulai sekarang kita harus menyaring mana politisi yang tepat mendapat suara pada pemilu 2024.
Jangan sampai kita hanya terbawa oleh arus media tanpa mengerti bagaimana menghadirkan politik yang progresif beradab.
Waktu dua tahun ke depan, relatif cukup untuk setiap warga negara Indonesia belajar tentang politik secara ilmu, hakikat dan realitas.
Sebab, kita tidak bisa mengubah bangsa ini lebih baik secara politik, kalau kita semua sama-sama buta tentang apa itu politik.
Nah, supaya tidak buta sama sekali, maka kita perlu yang namanya politik progresif beradab.
Artinya, temukan politisi atau bahkan partai politik yang visinya membuat rakyat maju dan hidup dalam adab yang kokoh.
Jika ini gagal kita lakukan sebgai individu yang punya hak suara dalam pemilu, maka politik gimik masih akan bertahta. Jangan marah ke siapapun, kembali kita cek ke dalam, apakah sudah tahu apa itu politik, terutama, apa itu politik progresif beradab.*