Hari masih pagi saat saya menjemput si sulung yang dapat jadwal pertemuan dengan orangtua. Setiba di rumah usai membeli bahan sarapan, ia bercerita. Bahwa ada temannya mengatakan dirinya akan sulit berkembang belajar di tempat yang fasilitasnya kurang. Saya tak langsung merespon. Tapi akhirnya terjawab bahwa kemenangan dan fasilitas tidak selalu berbanding lurus.
Jawaban itu kami temukan saat duduk bersama sembari membaca satu persatu buku berjudul “Andalusia” karya Dr. Abdurrahman Ali-Al-Hajji.
Jawaban itu tertera pada halaman 15 yang isinya sebagaimana berikut.
“Kesempurnaan materiil dan kemiliteran bukanlah asas utama dalam kemenangan Muslim. Namun, asas yang paling utama haruslah didasarkan pada akidah.
Baca Juga: Allah Saja yang Paling Penting dalam Hidup Manusia
Inilah faktor pentingya, karakter utama bagi prajurit Muslim, keistimewaan pasukan Muslim, dan yang menggiring mereka mendapatkan bantuan yang sangat besar. Pasukan yang sedikit adalah keistimewaan Muslim dalam setiap penaklukkan.”
Empiris
Namun manusia tidak selamanya memanang uraian Dr. Abdurrahman Ali Al-Hajji sebagai hal mutlak.
Orang umumnya sangat terpengaruh oleh fakta-fakta empiris. Wajar kalau Barat menjadi satu peradaban yang menjadikan empirisme sebagai pandangan hidup. Karena itu pengalaman kata orang adalah guru terbaik.
Barat pun kemudian tumbuh dan besar di antaranya karena dukungan empirisme, satu aliran ilmu pengetahuan dan filsafat yang asas-asasnya adalah aspek empiris.
Sederhananya, semua pengetahuan diperoleh dengan pengalaman. Manakala ilmu ingin sampai pada derajat valid (benar) maka syaratnya harus logis dan ada bukti empiris.
Memang tidak bisa kita pungkiri, bahwa sekolah yang memiliki fasilitas lengkap, apalagi wah, akan memudahkan murid belajar banyak hal dengan cara yang efektif.
Tetapi, murid dalam sekolah bukan sebatas makhluk empiris, ia juga makhluk ruhani.
Jadi, kalau manusia sangat canggih dalam hal metode dan lengkap dari sisi fasilitas, tetapi ruhnya tidak mendapatkan asupan “gizi” yang semestinya, maka mentalitasnya juga akan lemah.
Mari kita buktikan. Ketika seseorang dengan gelar akademik tinggi, lulusan luar negeri, pulang ke Indonesia dan jadi pejabat kemudian korupsi. Apakah akalnya tidak bekerja? Bahkan sangat bekerja.
Tetapi kenapa ia korupsi, tidak lain karena jiwanya atau ruhnya lemah. Lemah akan keyakinan bahwa semua tindakan akan Allah minta pertangungjawabannya.
Kenapa lemah, karena empirisme memang banyak kelemahan. Sandaran berupa indera, jelas sangat rapuh.
Mata bisa melihat benda pada jarak tidak dekat sebagai kecil, meskipun faktanya tidak. Jadi, empirisme potensial menerima laporan tidak sebagaimana adanya.
Menang dalam Alquran
Kalau begitu maka tidak ada sandaran terbaik selain dengan bersandar kepada Allah.
Seseorang akan sukses atau menang bukan fasilitas, tetapi akidah, ruh, atau keimanannya kepada Allah Ta’ala.
“Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.” (QS. At-Taubah: 72).
Jadi, pendidikan terbaik bagi diri, keluarga, dan generasi bangsa, ialah yang mengantarkan anak-anaknya menjadi pribadi yang yakin kepada janji Allah.
Baca Lagi: Inilah Praktik Mengingat Allah yang Bikin Hati Adem
Dan, sudah menjadi janji Allah, siapa yang beriman (yakin) Allah pasti berikan kebahagiaan dan kemenangan yang besar.
Oleh karena itu banyak kemenangan umat Islam tidak karena jumlah dan fasilitas, karena memang kemenangan itu milik Allah. Dan, Allah berjanji kemenangan itu untuk insan yang beriman. Namun demikian Alquran memberikan panduan, iman harus membentuk barisan. Barisan yang solid, kokoh, tak tertandingi.*