Home Hikmah Kehendakku dan Kehendak-Nya
Kehendakku dan kehendakNya

Kehendakku dan Kehendak-Nya

by Imam Nawawi

Wajah sahabatku itu tampak begitu silu. Baru saja ia kehilangan sang putra, yang neonatus delapan hari di dunia. Namun, ia pria yang kuat, tampak dari cerlang matanya. Ia seakan berkata, “Kehendakku dan kehendak-Nya.”

Semerta tiba di Cilodong, aku langsung menyalami dan memeluknya. Terasa getaran hebat dalam dirinya. Wajahnya hangat menempel di dadaku.

Dekat telinganya kubisikkan sebuah kalimat, “Antum orang kuat. Allah telah memilih antum, untuk kebahagiaan yang pasti.”

Sahabatku terdiam sesaat, lalu menyahut, “Doanya, ya, Bang.”

Baca Juga: Filsafat Kematian

Kalimat itu selalu sahabatku ulang ketika datang satu persatu orang takziah menyalami dan memeluknya.

“Doanya, ya, akhi,” jika yang datang adalah sahabat junior di tempat ia berdedikasi sehari-hari.

Muhammad Altair Abdurrahman

Sekalipun baru delapan hari melihat dunia, bayi bernama Muhammad Altair Abdurrahman itu harus berjuang dengan kondisi fisik yang berat.

Ia belum pernah menatap matahari, karena terus berada dalam ruang NICU di sebuah RSUD di Bogor.

Namun, rasa syukur dan bahagia serta harap yang kuat kepada Allah agar Altair bisa sehat, terlebih dengan doa yang terus mengalir untuknya, membuat sahabatku optimis.

Akhirnya bayi yang sejak lahir harus gigih berjuang itu segera di-aqiqah-kan.

Sahabat-sahabat yang menjenguk memberi kabar kepadaku bahwa kondisinya membaik.

Tetapi, seperti cerlang matanya yang kutangkap kala pertama kali bertemu dengannya, kehendak-Nya semata yang akan terjadi.

Saat aku telah duduk di Masjid Muhammadiyah Jakarta Timur, Pak Jo, sosok yang sering bersamaku kala ada urusan kantor, mengabarkan.

“Bappa, putra Pak Tri, meninggal dunia,” ucapnya.

Dalam hati aku menyambut, “Innalillahi wa inna ilayhi raji’un.”

Selepas salat Jumat segera kami memacu Veloz yang kami bawa dengan kecepatan tertinggi ke lokasi duka.

Penuh Harap

“Delapan hari adalah waktu yang kami bersama keluarga sangat bahagia dengan kelahiran Altair. Kami segera meng-aqiqah-kan. Namun kepada Allah jua kami kembali,” ucap sahabatku sebelum berdoa usai membumikan Altair.

Aku yang mendengar kalimat itu diam membisu. Hanya butiran air mata yang seperti tentara latihan terjun payung tak sabar melompat dari pesawat.

Tampak dari kalimat itu, sahabatku ingin Altair sehat, berhasil dalam perjuangannya.

Namun, kekuatan iman dalam dadanya, membuatnya rela dan tetap tegar, walau suaranya kala menyampaikan isi hatinya sangat rendah, lemah.

Baca Lagi: Metode Membangun Kesadaran

Doa dari seorang sahabat yang ulama dari Balikpapan begitu menguatkanku.

“Turut berduka cita Kang Tri.

اللَّهُمَّ اجْعَلْـهُ لَنَا سَلَفًا وَفَرَطًا وَذُخْرًا وَأَجْرًا

“Ya Allah, jadikan dia (Altair) sebagai pahala yang disegerakan dan simpanan abadi, dan sumber pahala bagi orang tuanya… 🤲,” tulisnya melalui grup pesan singkat.

Melihat doa itu, aku sadar bahwa Allah tidak mengambil, kecuali memberi dengan lebih baik bagi hamba yang mendapatkan ujian.

Lebih-lebih, Ustadz Hafidz Bahar yang memimpin doa di pemakaman mengatakan, bahwa ini adalah kehendak Allah.

“Sekiranya pun, ananda Al-Tair ini hidup seperti kita, ia akan menjadi pejuang kebaikan. Karena kedua orang tuanya pun demikian.

Tetapi, Allah Maha Kuasa, Maha Berkehendak. Inilah yang terbaik,” tuturnya yang membuatku seperti bertemu mata air jernih yang menghilangkan dahaga.

Aku menyalami kembali sahabatku dan memeluknya. Kulihat wajahnya mulai pulih dan memancarkan sedikit kesegaran, optimis dan bahagia.

Seakan ia berkata, Altair tidak akan pernah Allah sia-siakan. Altair akan jadi tabungan pahala bagi orang tuanya. Subhanallah.*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment