Kapankah kehancuran besar suatu bangsa terjadi? Menurut Ibn Khaldun ketika generasi suatu bangsa telah kehilangan jati diri generasi awalnya, yakni hanya mampu menjadi penikmat dan penuntut. Bukan inisiator apalagi pioner.
Dalam situasi itu, para penerus sibuk mencari keuntungan, akibatnya pertengkaran lebih dominan daripada persaudaraan. Bahkan, nilai-nilai luhur bangsanya mulai ditinggalkan, diganti oleh pragmatisme dan kejahiliyahan. Sebelum Ibn Khaldun menelurkan teorinya, Rasulullah SAW telah menyampaikan kepada umatnya.
“Jika fa’i dipergilirkan untuk suatu kaum saja; amanah dijadikan sebagai tempat penghasilan; zakat dijadikan sebagai utang; ilmu dipelajari bukan untuk agama; suami tunduk kpeada istrinya, durhaka kepada ibunya, akrab dengan kawannya, dan menjauhi ayahnya; suara-suara meninggi di masjid-masjid, kabilah dipimpin oleh orang yang fasik; suatu kaum dipimpin oleh orang yang paling hina dari mereka; seseorang dimuliakan karena takut kejahatannya; munculnya penyanyi wanita, alat musik dan minuman keras; serta umat terakhir ini melaknat umat terdahulu; maka, saat itu hendaklah mereka menantikan (datangnya) angin merah, gempa, khasaf, maskh, qadzaf, dan tanda-tanda kiamat yang susul-menyusul baik untaian manik-mainik yang terputus benangya hingga (jatuh) susul-menyusul.” (HR. At–Tirmidzi).
Dari hadits tersebut kita dapat mengerti bahwa kiamat itu tidaklah terjadi melainkan kerusakan manusia terus terjadi dan tidak ada lagi amar ma’ruf nahi munkar di dalamnya, karena orang mulia adalah yang kejahatannya sangat ditakuti.
Pada saat yang sama, pendapat Ibn Khaldun bahwa tanda kematian sebuah peradaban adalah generasinya yang suka menuntut dan hanya pandai menjadi penikmat harus bisa diakhiri.
Bergeraklah menjadi generasi yang punya inisiatif dan kepeloporan. Tetapi, apakah hal ini mudah? Di sini seluruh generasi muda wajib sadar, bahwa kehancuran itu ada tanda-tandanya.
Jika terus dibiarkan terjadi, maka seperti laju kendaraan yang begitu cepat namun tak terkendali di jalan yang kanan dan kirinya tebing curam mematikan. Allahu a’lam.
Imam Nawawi
Bogor, 24 Syawal 1441 H