Home Artikel Kebenaran dan Kepatutan
kebenaran dan kepatutan

Kebenaran dan Kepatutan

by Imam Nawawi

Membaca naskah Roziqin, Dosen Hukum Universitas Nahdlatul Ulama dalam artikelnya “Menyoal Rangkap Jabatan Komisaris” di Republika.id saya menangkap dua hal penting, yaitu kebenaran dan kepatutan.

Bagi juru bicara Kemenkeu, Yustinus Prastowo, Sri Mulyani punya 30 jabatan itu wajar, mengingat Jeng Sri (begitu sebagian netizen memanggil) adalah exofficio.

Namun bagi Roziqin, sekalipun praktik banyak jabatan itu telah berlangsung lama, yang salah tidak perlu kita benarkan.

Baca Juga: Paradoks Jabatan Publik

Kemenkeu memang berkepentingan mengapa BUMN agar tetap sehat. Namun bisakah sehat itu terjadi?

Rozikin menulis, “Kalaupun pejabat Kemenkeu benar-benar mengawasi BUMN sebagai komisaris, artinya ada dua kementerian yang pekerjaannya tumpang tindih, Kementerian BUMN dan Kemenkeu.”

Artinya sudah ada dua kepentingan bertemu.

Tidak heran kalau kemudian rangkap jabatan itu seakan “gratifikasi legal”. Karena bagaimanapun, pemberian gaji dan tunjangan komisaris, kata Rozikin “Akan memengaruhi pengambilan keputusan dari pejabat pemerintah.”

Sang pejabat akan kehilangan independensinya. Dan, tentu saja semakin mudah melegitimasi kepentingan pemberi “kepuasan.”

Umar bin Khattab

Menjadi pejabat rakyat sebenarnya bukan perkara mudah. Itu kalau kita melihat teladan dari orang-orang terdahulu.

Umar bin Khattab itu bukan sekedar menteri, ia pemimpin dunia. Kalau mau, ia bisa rangkap semua jabatan di muka bumi.

Akan tetapi, jangankan soal rangkap jabatan, mau gajinya naik saja, Umar tidak tertarik.

Pernah suatu waktu para sahabat berkumpul dan menyampaikan pendapat kepada Hafshah putri Umar agar ada kenaikan gaji dan tunjangan untuk amirul mukminin, Umar bin Khathab.

Ketika Umar mengetahui itu, ia marah. Baginya yang telah ia terima dari kas negara sudah cukup. Ia ingin hidup sebagaimana Rasulullah SAW hidup sederhana. Pun demikian dengan Abu Bakar ra.

Mengapa Umar melakukan itu, tidak lain karena hidup menjadi pemimpin rakyat bukan soal khutbah kebenaran, tetapi menampilkan apa yang namanya kepatutan. Saat kepatutan jadi pakaian pejabat, keteladanan akan menebar kepada umat manusia.

Cerdas?

Orang punya jabatan, lalu menjadi kaya, sebenarnya biasa.

Tetapi yang harus jadi perhatian adalah caranya, benar, salah atau bahkan patut atau tidak.

Sekiranya menjadi kaya dengan cara membenarkan segala cara itu boleh, Umar mungkin akan sangat riang gembira kala gaji dan tunjangan akan mengalami kenaikan. Faktanya tidak.

Sekarang, ketika sorot mata orang mengarah pada para pembesar negara yang punya uang mencurigakan dalam jumlah besar, apa perasaan mereka?

Gembira atau merasa telah melakukan kejahatan?

Setidaknya, masihkah mereka bisa menatap wajah anak dan cucu-cucunya yang polos dan selama ini mendapat pengajaran pentingnya integritas?

Baca Lagi: Komunikasi Politik Bukan Tanpa Arah

Jadi, ada tingkatan kecerdasan yang harus manusia sadari selain kognisi, yaitu keimanan. Inilah kecerdasan yang tak dimiliki oleh orang-orang baheula, mulai era Nabi Nuh hingga Nabi Isa alayhissalam.

Artinya praktik hidup memandang harta sebagai Tuhan adalah cara berpikir manusia kolot, kuno, ortodoks dan primitif, serta manusia purba. Sayangnya, tidak semua masa kini mau bernalar.

Kecerdasans ejati adalah keimanan. Keimanan yang melahirkan sikap takwa.

Dalam Islam, takwa itulah kecerdasan yang sesungguhnya. Ketika mereka memiliki harta, bukan hawa nafsu yang mereka liarkan, tetapi kemaslahatan yang terus mereka hadirkan. Jadi, mereka sangat peka akan kepatutan, apalagi kebenaran.*

Mas Imam Nawawi

 

 

Related Posts

Leave a Comment