Belakangan ini saya melihat ada banyak buku yang mengupas tentang kebahagiaan. Rata-rata mendorong diri untuk tidak terpengaruh oleh apapun yang tak bisa dikendalikan, di luar dirinya. Seperti bahagia kalau ada yang memuji, menjadi bahagia kalau dapat apresiasi dan lain-lainnya.
Bahkan kalau kita mendapati hal yang tidak sesuai harapan, maka senangilah apa yang terjadi. Selain buku ada pula yang senang sekali membicarakan perihal kebahagiaan (yang seharusnya lebih baik kalau menjelma jadi tindakan).
Imam Adz-Dzahabi (dalam buku Kisah Teladan Orang-Orang Shaleh) menuturkan untuk bahagia simpel. Yaitu berusahalah untuk meneladani Nabi Muhammad SAW. Konkretnya: “Yakni memakan yang baik-baik saja serta mempergunakan syahwat sebatas yang halal, tanpa berlebihan.”
Hari ini dalam urusan makan, berapa banyak orang yang merasa bahagia kalau makannya di resto A, di puncak gunung, di bibir pantai, di pulau buatan dan lainnya. Padahal, kata Gus Baha, syarat makan enak itu satu, yaitu lapar. Semakin manusia lupa akan hakikat makan, semakin ia hidup dengan banyak kegelisahan.
Al-Habib Umar bin Hafidz berkata (seperti dikutip oleh Alfiah Berkah dalam buku “Tak Ada Masalah Berat, Selama Jarak kita dengan Allah Dekat”): “Berhentilah berpikir berlebihan, sepotong besi rusak karena karatnya sendiri, jangan biarkan dirimu rusak karena pikiranmu sendiri, tidak usah terlalu cemas, karena cerita kehidupanmu telah ditulis oleh penulis skenario terbaik.”
Jadi, sederhana saja mengisi hidup ini. Apalagi kalau hanya soal makanan, pakaian, kendaraan dan tempat tinggal. Miliki semua secara wajar, maka hati akan selamat dari mencari-cari pujian, sehingga hati tidak lelah karena tidak mendapat pengakuan orang.
Dan, ada benarnya ungkapan yang mengatakan bahagia itu ada dalam dirimu, lebih tepatnya keimanan dan kesyukuran kita kepada Allah Ta’ala dan kecintaan jiwa untuk meneladani kehidupan Nabi Muhammad SAW. Tidak bisa semua, ambil semampunya. Karena satu keteladanan dari Nabi Muhammad SAW bisa membahagiakan hati sepanjang hayat.
Komitmen Hidup
Bahagia akan sering kita bicarakan kalau tidak memiliki komitmen hidup. Karena bahagia itu bukan soal senang-senang apalagi melanggar aturan (syariat).
Baca Juga: Jadi Pejabat Niatkan Karena Allah
Perhatikan dan ingat-ingat! Pernah mendengar nama Khalid bin Walid ra?
Ia adalah sosok sahabat Nabi SAW yang sejak masuk Islam, hidupnya habis di medan juang, pertempuran. Apakah Khalid tidak bahagia?
Mungkin sebagian kita mengalami kesulitan mencerna posisi Khalid. Bagaimana mungkin bisa bahagia sedangkan setiap perang nyawanya dalam ancaman. Tetapi apakah Khalid tidak bahagia? Siapa bisa menjelaskan bahwa Khalid menderita karena menjadi panglima perang?
Khalid berkata, “Apabila aku mati, ambillah senjata dan kudaku. Jadikanlah semuanya itu sebagai bekal berjihad di jalan Allah.”
Jadi ada komitmen dalam hati Khalid bin Walid ra, sehingga berada di medang tempur sekalipun, baginya sangat membahagiakan. Bukan karena bosan hidup, tapi karena mengerti kehidupan yang sesungguhnya dengan keimanan yang kokoh.
Bukankah Nabi SAW mengatakan umat Islam ini menjadi lemah, hilang martabat, dan diperebutkan layaknya makanan justru karena takut kehilangan hidup di dunia yang singkat dan fana?
Makna
Sebuah penjelasan singkat namun langsung menghujam dapat kita temukan dalam buku Rofl Dobelli: “The Art of The Good Life.”
Baca Lagi: Ketika Semua Serba Cepat
Dobelli memberikan dua jenis pertanyaan. Apa yang menyenangkan dan apa yang bermakna. Berdasarkan pengalamannya, orang memilih sek sebagai hal yang paling menyenangkan daripada membesarkan anak. Sedangkan untuk hal yang bermakna, mereka memilih membesarkan anak dan membantu orang tua menyeberang jalan daripada pergi liburan.
Kemudian Rolf Dobelli menulis: “Ini menarik. Kira-kira mana yang lebih penting? Mana yang sebaiknya menjadi fokus kita? Aktivitas mana yang dapat menciptakan hidup tenteram — apakah yang ‘menyenangkan’ atau yang “bermakna’?”
Semakin hidup kita berorientasi pada makna, kebahagiaan semakin bersemayam kokoh dalam hati. Tetapi semakin kita suka pada yang semata-mata menyenangkan, lalu melegalkan kejahatan, maka hati akan tersayat, meronta dan menderita.
Coba tengok, saat diri sendiri mendahulukan malas daripada produktif, apakah bahagia?
Kemudian apakah pejabat yang korupsi dan membuat kebijakan destruktif bagi rakyat, hidupnya bahagia dan perilakunya menjadi baik, layak diteladani dan menginspirasi kebaikan?*