Kebahagiaan abadi tentu banyak jiwa mencari. Namun sebagian salah jalan. Mereka kira ada pada jabatan dan keserakahan. Padahal kebahagiaan abadi ada di dalam hati, ya, hati diri ini, hatimu, hatiku dan hati kita semua.
Jika kebahagiaan hanya pada kekayaan
Betapa Tuhan akan melupakan si miskin
Namun kebahagiaan telah Tuhan kondisikan
Hadir dalam hati, tumbuh kuat jadi kesadaran iman
Renungan itu kian menggumpal bak bola salju dalam hati sejak Kang Maman membangunkan kesadaran bahwa bahagia itu ada pada kita semua. Juga ada pada hati anak-anak tukang parkir, pedagang asongan, penjaga toilet. Ada pada siapa saja. Uniknya mereka bahagia tanpa harus biaya ratusan juta.
Bahagia berbeda dengan menepuk dada. Juga tidak sama dengan memamer-mamerkan foto bergaya tak biasa dengan kamera puluhan juta. Bahagia itu kala hati sadar Tuhan terus hadir, mengajak kita sadar.
Bukankah seorang murid bisa bertambah semangat kala ingat nasihat guru. Begitupun seorang anak kian bergelora dalam meraih cita-cita kala ingat petuah ayah dan ibunya. Lalu bagaimana dengan orang yang sadar ia sedang mendapat nikmat dari Tuhannya?
Anak-anak TK Sakila Kerti itu memang wisuda dalam kondisi apa adanya. Tapi yang mahal dari mereka, kesadaran bahwa itu adalah keajaiban. Yang kekuatan mereka tak mampu mendatangkan. Mereka hanya bisa tersenyum, sesekali menangis, semua telah Tuhan anugerahkan.
Pesan Nabi
Kebahagiaan ada dalam hati, bukan pembelaan bagi kaum yang uangnya sangat berseri. Pesan Nabi memang demikian.
Baca Juga: 3 Langkah Siap Optimis
“Yang namanya kaya (ghina) bukanlah dengan banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan dunia). Namun yang namanya ghina adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pernahkah kau perhatikan
Orang kaya masuk penjara
Itu baru di dunia
Belum masuk hari pembalasan
Apakah bisa orang bahagia dengan belanja esktra luar biasa dari uang korupsi?
Perhatikan baik-baik, orang yang dengan sadar melakukan kejahatan, akan sibuk hari-harinya untuk menutupi keburukan. Semakin hari, hatinya terbakar. Karena memang perbuatan merusak dan kejahatan adalah penghancur hati. Kalau hati hancur, bagaimana bahagia bisa datang.
Manusia katanya hebat
Tapi sering lupa pada taubat
Berharap dapat nikmat-nikmat
Tapi perbuatannya sendiri jadi penghambat
Jadi, berhentilah memahami bahagia dengan sandaran pada kesemuan. Entah itu jabatan, kekayaan atau apapun namanya. Ingat, hatimulah tempat bahagia paling nyata. Maka kata Tuhan, apakah hatimu tidak bisa memahami?
Lebih Besar yang dari Tuhan
Saat manusia masuk dalam kehidupan dunia, yang kini peradaban materi begitu menjulang tinggi, menjadi mimpi banyak pribadi, lalu memacu diri mencari materi sepenuh bumi, mereka merasa berakal, berpikir dan beruntung.
Tetapi apakah benar seperti itu dalam kenyataannya?
Bisa jadi ya, bagi penganut materialisme, empirisme dan pragmatisme. Kebahagiaan memang membutuhkan uang. Uang yang banyak memudahkan orang makan apa saja dan di rumah makan terbaik.
Tetapi, cahaya Islam memberikan petunjuk, kebahagiaan itu bukan pada materi. Tetapi pada amal-amal kebaikan yang mereka lalukan. Orang punya materi atau tidak, kalau amalnya benar, akan mendapatkan balasan dari Tuhan.
“Dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An Nahl: 97).
Dalam kata yang lain dunia ini memang ladang, tempat beramal, menanamkan amal-amal kebaikan.
Jika itu kita lakukan, insha Allah kebahagiaan besar akan datang. Karena balasan dari amal kebaikan itu langsung dari Tuhan.
Dan, apakah ada balasan yang seindah dari Tuhan?
Baca Lagi: Loyallah Pada Nilai Bukan Orang
Lantas akal seperti apa yang bisa mengabaikan cahaya Islam?
Richard Schoch
Dalam “The Secret of Happiness” seorang Richard Schoch menegaskan, “Dengan tuli terhadap kebijaksanaan masa lalu, kita telah meluputkan diri kita dari kesempatan mendapatkan kebahagiaan yang bermakna”.
Artinya jangan menganggap hidup hanya tentang hari ini. Dunia menyediakan masa lalu untuk kita renungkan guna menatap masa depan dengan langkah pasti sekarang.
Jika kebijaksanaan masa lalu bisa jadi lentera kebahagiaan. Apalagi Islam, yang penjelasannya meliputi Alquran dan teladan dari Nabi SAW.
Ilmu
Dan, kata amal sholeh dalam Islam, jelas memberikan petunjuk kita harus hidup dengan keahlian, keterampilan, konsentrasi dan fokus sepenuh hati. Itulah makna jihad, bersungguh-sungguh.
Jadi, kalau kita ingin bahagia, tanamkan dalam hati untuk anti menjadi manusia malas, suka menunda dan berpikiran negatif. Jadi dalam konteks ini, menjadi bahagia atau tidak tergantung pada pilihan kita sendiri.
Mau menjadi tahu dan beramal atau tak mau tahu lalu menyesal.*