Sejarah itu berulang. Demikian anggapan banyak orang. Pantas saja kalau Ibn Khaldun kemudian menginisiasi teori siklus peradaban. Layaknya kehidupan manusia, datang silih berganti. Termasuk soal kaum intelektual hari ini dan tukang sihir Fir’aun.
Kaum intelektual itu memang punya keahlian berpikir. Sama dengan tukang sihir di era Fir’aun. Mereka dipanggil dengan keahliannya untuk mematahkan bukti dan argumentasi ketauhidan dari Nabi Musa as.
Dan, seperti sekarang, tidak sedikit intelektual yang mengelilingi penguasa. Layaknya pagar istana yang tinggi nan melingkar.
Baca Juga: Teguh dalam Kekuasaan, Ilmu dan Iman
Mereka siap untuk memberikan penjelasan apapun, bahwa kehendak pemimpin mereka adalah benar, tidak sedikit pun salah apalagi menodai regulasi. Gelar-gelar dan pengalaman mereka tak bisa manusia ragukan.
Berharap Imbalan
Akan tetapi sisi kelemahan mereka yang hebat itu satu, mereka berharap imbalan dari sang penguasa.
Hal ini seperti pula yang tukang sihir tanyakan kepada Fir’aun.
“Maka tatkala ahli-ahli sihir datang, mereka pun bertanya kepada Fir’aun: “Apakah kami sungguh-sungguh mendapat upah yang besar jika kami adalah orang-orang yang menang?” (QS. Asy-Syu’ara: 41).
Tafsir Muyassar coba mengonkretkan maksud tukang sihir itu. Bahwa ““Apakah sesungguhnya kami akan mendapatkan bayaran berupa materi atau kedudukan, bila kami menang melawan Musa?”
Pantas kalau kemudian intelektual zaman modern pun bekerja luar biasa dalam melakukan pembelaan terhadap ketidakbenaran penguasa. Mereka telah terbelenggu orientasi hidupnya oleh kenikmatan materi dan kedudukan.
Perbedaan
Namun kalau kita perhatikan lebih lanjut, tukang sihir Fir’aun jauh lebih cerdas dan pemberani.
Baca Lagi: Jangan Pernah Lelah dalam Keimanan
Sekalipun awalnya mereka berharap menang agar dapat uang dan kedudukan, mereka langsung sujud saat melihat bukti kebenaran.
“Maka tersungkurlah ahli-ahli sihir sambil bersujud (kepada Allah).” (QS. Asy-Syu’ara: 46).
Seketika tukang sihir itu bersuara: ““Kami beriman kepada Tuhan sesmesta alam, Tuhan Musa dan Harun.”
Setelah itu, tukang sihir itu tak lagi peduli dengan Fir’aun. Bahkan saat Fir’aun mengancam mereka dengan hukuman berat. Tukang sihir itu hanya peduli bahwa mereka pasti akan kembali kepada Allah.
Demikianlah Allah menerangkan kisah tukang sihir Fir’aun di dalam Alquran. Sebuah pelajaran penting bagi kita semua. Kalau kita timbang tukang sihir pada era modern, mungkin mereka kaum intelektual.
Tetapi intelektualitas mereka akan teruji dengan sendirinya, apakah mereka mengharap imbalan dari manusia ataukah mereka mengharap imbalan dari Allah. Keduanya melahirkan cara berpikir dan sikap yang jauh berbeda, baik malam dengan terang.*