Ketika media ramai mengabarkan tentang sosok “utusan orang penting” yang berkata-kata kasar, saya cenderung belum tertarik mengetahui apa yang terjadi. Tapi karena kata-kata kasar itu makin jam kian viral, saya baru menyempatkan waktu melihat-lihat.
Setelah menatap konten video viral itu beberapa kali, saya baru meluncur ke internet. Coba menemukan mengapa orang berkata kasar.
Sebagian besar, tema tentang kata-kata kasar erat kaitannya dengan ulasan pendidikan dan pengasuhan anak. Serta bagaimana mengatasinya jika ada anak yang sering berkata kasar.
Baca Juga: Viral Akhlak Penentu Kemenangan
Lalu bagaimana kalau orang dewasa yang melontarkan kata tidak halus? Saya masih belum menemukan artikel atau buku online soal itu.
Dalam kata yang lain, orang kalau sudah dewasa tidak sepatutnya berkata-kata kasar. Meskipun itu ia bingkai dengan maksud “bercanda”. Lebih-lebih dalam sebuah forum, banyak orang menyaksikan.
Dampak
Kata-kata selalu membawa kekuatan. Jika kata-kata itu baik, ia mendorong hati orang lain menjadi lebih kuat.
Walakin, kalau kata-kata itu kasar, orang yang mendengarnya akan sangat terganggu dan dirugikan.
Kata-kata kasar akan menyebabkan orang mengalami rasa sakit. Sakit hati dan luka emosional yang tidak ringan.
Tapi “aneh” kasus viral itu. Orang yang menerima kata-kata kasar itu, karena ketidakberdayaannya justru ada kekuatan “lain” yang mengundang kebaikan datang bagai angin kepada dirinya.
Ada yang mau mengajak umrah pada awal Ramadhan 1446 H. Bahkan beredar video Presiden ke-8 RI, Prabowo Subianto yang mengatakan bahwa pedagang kaki lima adalah orang yang jujur dan mulia.
Kerugian
Kata-kata kasar, tidak hanya merugikan yang terkena sasaran. Pembuat sasaran pun pasti mengalami kerugian.
Pertama, citra diri yang tercoreng. Orang akan sulit memberi respek kepada pembuat kata-kata kasar.
Perilaku dan ucapannya membuat orang paham, bahwa ada masalah besar dalam dirinya, yakni biasa tidak sopan dan merendahkan orang lain.
Kedua, menghambat kebahagiaan. Orang yang berkata kasar pasti kehilangan peluang. Akibatnya rasa bahagia dalam diri semakin berkurang. Ia pun akan kesulitan untuk mendapatkannya kembali.
Oleh karena itu kita perlu menyadari bahwa kita sebagai manusia tidak punya hak merendahkan orang lain, siapapun itu. Bahkan terhadap pedagang kaki lima, penjual asongan dan sebagainya.
Bukankah kaya dan miskin itu ujian dari Allah. Bahkan Allah sama sekali tidak menyebutkan bahwa kemuliaan seseorang tergantung pada kedudukan dan pekerjaannya, apalagi tumpukan harta. Allah menegaskan, kemuliaan itu ada dalam ketakwaan.*